Hümpfner juga menyoroti bahwa undang-undang ini membuat proses menjadi lebih sederhana. "Sebelumnya, masyarakat dipaksa untuk mengungkapkan banyak informasi pribadi - seperti preferensi seksual, praktik pribadi, atau pilihan pakaian dalam - kepada pengadilan, yang seringkali menimbulkan pengalaman buruk."
Menurut laporan kantor berita Jerman, dpa, sekitar 1.200 warga Berlin telah mengajukan permohonan di bawah aturan baru ini, dengan ketertarikan yang sama terlihat di kota-kota besar lainnya. Anggota parlemen Jerman, Nyke Slawik, seorang transpuan dari Partai Hijau, menyebut undang-undang ini sebagai reformasi bersejarah yang memiliki dampak penting secara global. "Ini adalah harapan di tengah meningkatnya suara populis sayap kanan dan kemunduran hak-hak LGBTQI+ di beberapa negara," kata Slawik kepada DW.
Baca Juga: Lupakan Sejarah, Jerman Tetap Kirim Suplai Senjata ke Israel
Richard Köhler, penasihat ahli untuk Transgender Eropa dan Asia Tengah (TGEU), mengatakan bahwa undang-undang ini mengembalikan Jerman sejalan dengan standar hak asasi manusia internasional dan perkembangan hukum di Eropa selama dekade terakhir. Jerman kini menjadi negara Eropa ke-12 yang memberlakukan undang-undang penentuan nasib sendiri secara legal.
"Secara jujur, ini hanya memengaruhi sejumlah kecil orang, dan menghormati pilihan mereka tidak merugikan siapa pun, melainkan mendukung nilai-nilai martabat dan kebebasan," ujar Köhler kepada DW, sambil memperingatkan bahwa beberapa negara, seperti Georgia dan Rusia, telah menerapkan larangan terhadap transisi hukum dan medis.