Ntvnews.id, Jakarta - Di tengah ramalan soal melambatnya konsumsi akibat ketidakpastian global, muncul fenomena paradoksal yang justru menggeliat, Generasi Z yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an ternyata menjadi motor penggerak ekonomi lewat perilaku yang disebut “doom spending.”
Istilah ini menggambarkan kebiasaan menghabiskan uang secara impulsif di tengah rasa cemas akan masa depan. Alih-alih menabung atau berinvestasi, banyak anak muda memilih menikmati hidup sekarang seperti, nongkrong di kafe, menonton konser, berlibur ke luar kota, atau membeli barang-barang yang memberi kepuasan instan.
Baca Juga: Purbaya Tegaskan Pajak E-Commerce Bakal Diterapkan Saat Ekonomi Tumbuh di Atas 6 Persen
Bagi sebagian orang tua, perilaku ini mungkin tampak sembrono. Namun jika dilihat dari kacamata ekonomi makro, doom spending justru menjadi bensin baru bagi mesin konsumsi domestik.
Menurut laporan McKinsey, Gen Z lebih rentan melakukan doom spending dibanding generasi sebelumnya. Contohnya seperti paparan berita negatif di media sosial, ketidakpastian karier di era disrupsi digital, biaya hidup yang tinggi di kota besar, dan kemudahan belanja online yang hanya butuh beberapa kali klik.
Fenomena ini tidak semata persoalan gaya hidup, tapi juga respons psikologis terhadap dunia yang semakin tidak pasti. Di tengah keresahan global mulai dari inflasi, perubahan iklim, hingga ancaman PHK massal konsumsi menjadi bentuk “pelarian sehat” yang memberikan kendali sesaat atas hidup.
Namun, menariknya, tidak semua Gen Z berperilaku konsumtif tanpa arah. Banyak juga yang mulai mengenal konsep “loud budgeting” (menunjukkan secara terbuka bagaimana mereka mengelola uang), “soft saving”, hingga investasi kecil melalui platform digital. Artinya, doom spending dan literasi finansial kini berjalan berdampingan dalam keseharian anak muda.
Jejak Nyata Doom Spending di Indonesia
Di Indonesia, tren ini terlihat jelas dalam pola pengeluaran Gen Z:
- Nongkrong di kafe kekinian dan kulineran,
- Menonton konser dan traveling,
- Belanja fesyen dan streetwear lokal,
- Membeli gadget terbaru,
- Berlangganan layanan digital seperti streaming dan game.
Platform e-commerce, layanan pesan-antar makanan, dan fintech paylater menjadi jembatan utama yang memungkinkan perilaku ini berkembang.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan lonjakan tajam penggunaan paylater. Laporan Tech in Asia (Maret 2025) mencatat pembiayaan paylater naik 39,3% secara tahunan (YoY) hingga mencapai Rp8,22 triliun, setara USD 497 juta. Ini menandakan bagaimana kecenderungan “beli dulu, pikir nanti” menjadi gaya hidup baru generasi muda.
Selain itu, laporan Payments Intelligence 2025 menggarisbawahi percepatan sistem pembayaran digital di Indonesia yang membuat transaksi impulsif semakin mudah dan cepat, tanpa hambatan “rem” konvensional seperti pertimbangan matang atau perhitungan tabungan.
Antara Dorongan Ekonomi dan Risiko Finansial
Jika dilihat dari sisi makro, doom spending memberikan efek domino positif bagi perekonomian. Konsumsi yang tinggi mendorong:
- Peningkatan produksi barang dan jasa,
- Ekspansi pasar bagi UMKM dan industri kreatif,
- Penciptaan lapangan kerja baru,
- Serta peningkatan penerimaan pajak negara.
Selera Gen Z yang dinamis bahkan memaksa pelaku industri untuk terus berinovasi, baik dalam produk maupun pengalaman pengguna. Dalam konteks Indonesia yang ekonominya ditopang oleh konsumsi domestik, perilaku ini berperan penting menjaga denyut perekonomian ketika ekspor dan investasi belum stabil.
Namun di sisi lain, doom spending juga menyimpan sisi gelap. Tanpa literasi finansial yang memadai, perilaku konsumtif berbasis emosi dapat menjebak anak muda dalam:
Utang konsumtif akibat cicilan paylater dan kartu kredit,
Menurunnya tingkat tabungan,
Hingga tekanan psikologis ketika gaya hidup tak lagi seimbang dengan kemampuan finansial.
Jika dibiarkan, risiko ini dapat berkembang menjadi persoalan sosial yang lebih luas dari meningkatnya kredit macet hingga berkurangnya daya tahan finansial generasi produktif.
Kunci Solusi
Agar doom spending memberi lebih banyak manfaat daripada mudarat, perlu sinergi antara kebijakan publik dan edukasi finansial.
1. Perlindungan konsumen fintech dan paylater.
OJK dapat memperketat regulasi terkait transparansi bunga, mekanisme penagihan, dan peringatan risiko. Industri keuangan digital perlu memastikan perilaku konsumtif tidak berujung pada jeratan utang.
2. Literasi finansial berbasis digital.
Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2024 menunjukkan inklusi keuangan tinggi, tapi pemahaman finansial anak muda masih lemah. Edukasi bisa dilakukan lewat influencer keuangan, konten kreatif, hingga integrasi di kurikulum kampus.
3. Dorong konsumsi produktif dan lokal.
Pemerintah dapat memberi insentif bagi e-commerce yang menonjolkan produk dalam negeri atau mengembangkan startup lokal di sektor kreatif. Dengan begitu, belanja Gen Z tidak hanya meningkatkan konsumsi, tapi juga memperkuat ekonomi nasional.
4. Pemantauan makroprudensial.
Bank Indonesia dan OJK perlu terus memantau rasio non-performing loan (NPL) dari portofolio paylater agar tidak mengancam stabilitas sistem keuangan.
Doom spending mungkin lahir dari keresahan, tapi jika dikelola dengan bijak, ia bisa menjadi energi transformatif bagi ekonomi. Gen Z bukan hanya konsumen impulsif, tetapi juga aktor ekonomi baru yang menuntun industri untuk lebih kreatif, inklusif, dan adaptif terhadap perubahan zaman.
Sumber: Antara