Ntvnews.id, Jakarta - Isu pemanfaatan energi nuklir kembali mencuat dalam diskusi transisi energi nasional. Sejumlah pejabat dan pakar menilai, nuklir bisa menjadi solusi strategis di tengah keterbatasan energi fosil dan kebutuhan listrik yang terus meningkat.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jisman Hutajulu saat menjadi narasumber di Nusantara Energi Forum, menekankan adanya ketidaksesuaian antara potensi energi baru terbarukan (EBT) dengan pusat permintaan listrik di Jawa.
“Jadi gini, tadi kan sudah disampaikan ya, ada mismatch antara EBT dengan pusat demand kita di Jawa. Kemudian kita sudah membuat optimasi semua maka lahirlah kebijakan energi nasional di atas itu berupa pipih nanti, kemudian kita sudah lahirkan RUKN (Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional) yang terakhir rencana usaha penyediaan listrik RUPTL nya PLN, baru saja bulan Mei. Ini sudah kita optimasi ya, lalu apa nih yang kurang,” jelas Jisman.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa nuklir memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh EBT lain. Dari sisi penggunaan lahan, pembangkit listrik tenaga nuklir membutuhkan area yang jauh lebih kecil dibandingkan energi surya maupun angin.
“Jadi, nuklir ini memang ada kelebihannya. Pertama, dia akan menggunakan lahan yang sedikit, paling tidak 75%. Tapi di listrik yang paling utama kalau dibandingkan dengan EBT yang lain seperti surya, angin, dia ini adalah operasinya intermiten kalau ada hujan ilang, kemudian pagi mulai naik, sore mulai ilang. Nah, ini agak repot kalau di sistem. Harus ditemani dengan baterai. Nah, baterai pun sekarang masih mahal,” paparnya.
Menurut Jisman, kondisi ini menjadi semakin penting ketika pemerintah sedang mendorong hilirisasi industri, khususnya sektor smelter yang membutuhkan pasokan listrik dalam jumlah besar dan berkesinambungan.
“Kemudian, sekarang kita membagi mendorong hilirisasi, smelter butuh listrik yang besar dan tidak menginginkan yang sifatnya intermiten tadi. Maka, ada yang disebut dengan fast respond perlu seperti gas. Nah, nuklir ini adalah dia EBT yang operasi seperti fosil seperti PLTU, kuat dia. Inilah manfaatnya dan sekarang pun sudah tidak terlalu mahal, nanti bagaimana kita menerjemahkannya di RUPTLU,” tutur Jisman.
Senada dengan itu, As Natio Lasman, Anggota Dewan Energi Nasional, menilai keberadaan nuklir semakin mendesak jika melihat tren penurunan energi fosil.
“Dalam perhitungan yang baru itu mau diotak–atik bagaimanapun tanpa nuklir emang susah. Karena fosil kita itu terus turun, pembangunan terus harus diupayakan dengan energi yang semakin besar,” kata As Natio.
Ia juga mengingatkan bahwa Indonesia memiliki potensi besar di bidang nuklir yang hingga kini belum termanfaatkan optimal.
“Satu lagi, bahwa kita punya sumber daya dan bidang nuklir banyak di republik ini belum diolah,” tegasnya.