Ntvnews.id, Jakarta – Upaya memperkuat kemandirian pertahanan nasional menuntut sinergi antara kebijakan pemerintah, kolaborasi industri, dan peran akademisi dalam riset serta inovasi teknologi.
Hal ini menjadi fokus utama dalam seminar bertema “Membangun Kemandirian Pertahanan Negara melalui Kebijakan, Interdependensi Industri Pertahanan, dan Peningkatan Peran Akademisi” yang digelar di Universitas Pertahanan Republik Indonesia (Unhan RI).
Dalam forum tersebut, Norman Joesoef, Founder Republikorp, menekankan bahwa kemandirian pertahanan bukan hanya soal kemampuan memproduksi alutsista, tetapi juga penguasaan teknologi, data, dan algoritma sebagai fondasi pertahanan masa depan. Menurutnya, menghadapi dunia yang bersifat VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity), pertahanan nasional harus adaptif, inovatif, dan berbasis pengetahuan.
Seminar Unhan RI Bahas Strategi Membangun Kemandirian Pertahanan Nasional (Istimewa)
Kebijakan Perisai Trisula Nusantara yang digagas pemerintah menjadi arah strategis, dengan fokus pada: modernisasi alutsista, interoperabilitas TNI, dan pembangunan industri pertahanan berkelanjutan. Namun, Norman menegaskan, kemandirian sejati lahir dari kepercayaan pada kemampuan bangsa sendiri, bukan hanya ketersediaan sumber daya. Demikian dalam keterangannya, Sabtu, 1 November 2025.
Tantangan pertahanan saat ini tidak lagi terbatas pada kekuatan militer. Faktor seperti ketahanan energi, stabilitas rantai pasok, dan pengaruh arus narasi publik menjadi aspek penting dalam menjaga stabilitas nasional. Oleh karena itu, pembangunan pertahanan harus dipandang sebagai ekosistem terpadu antara teknologi, ekonomi, sosial, dan komunikasi strategis.
Baca Juga: AHY Ajak Masyarakat Junjung Tinggi Semangat Persatuan Lewat Unhan Belanegarun
Transformasi dari Minimum Essential Force menuju Optimum Essential Force hanya mungkin tercapai jika Indonesia mandiri dalam inovasi. Hal ini menuntut keberanian bereksperimen, riset berkelanjutan, dan pemanfaatan sumber daya nasional untuk menciptakan solusi pertahanan modern.
Norman juga menekankan perlunya membangun ekosistem inovasi yang menghubungkan pemerintah, industri, dan akademisi. Target jangka panjang Indonesia meliputi: konsolidasi ekosistem (2025–2029), produksi sistem strategis mandiri (2030–2039), hingga menjadi Regional Defense Hub di Asia Pasifik (2040–2045).
Seminar Unhan RI Bahas Strategi Membangun Kemandirian Pertahanan Nasional (Istimewa)
Selain teknologi, karakter pertahanan masa depan akan bergeser ke perang hibrida (hybrid warfare). Keunggulan suatu negara akan ditentukan oleh kemampuan memproses data, mengambil keputusan cepat, dan mengeksekusi strategi berbasis AI.
Fokus investasi pertahanan disarankan pada delapan bidang: UAV & Drone Swarm, Propelan & Amunisi Presisi, Radar & Sensor Multispektrum, Cyber Defence & AI Command, Satelit & Sistem Komunikasi, Autonomous Vehicles & Robotics, Energy Systems, dan Advanced Materials & Additive Manufacturing.
Norman menambahkan bahwa keberhasilan pertahanan juga bergantung pada sumber daya manusia (SDM) yang kompeten di bidang STEM (sains, teknologi, teknik, matematika). Lebih dari 80% tenaga kerja industri pertahanan dunia berasal dari latar belakang STEM, sehingga penguatan kurikulum, riset bersama, dan pelatihan lintas sektor menjadi krusial untuk mencetak talenta nasional unggul.
Ia menekankan, kemandirian pertahanan dibangun oleh manusia pemerintah, industri, akademisi, dan militer dengan nilai-nilai kolaborasi, integritas, ketangguhan, dan empati terhadap kebutuhan prajurit. Inovasi teknologi hanya bermakna jika dijalankan dalam kerangka nilai-nilai tersebut.
Di era Massive Impact, satu inovasi kecil dapat mengubah peta geopolitik dunia. Dengan memaksimalkan kolaborasi lintas sektor, Indonesia memiliki potensi untuk membangun ekosistem pertahanan mandiri yang tangguh, inovatif, dan berdaya saing tinggi, menuju Indonesia Emas 2045.
Seminar Unhan RI Bahas Strategi Membangun Kemandirian Pertahanan Nasional (Istimewa)