Ntvnews.id, Jakarta - Akhir-akhir ini timeline penuh video banjir dan longsor di Sumatera. Ada yang menampilkan harimau minta tolong di tengah air bah, hiu berenang di jalanan Padang, sampai sapi nongkrong di atas atap rumah yang hampir tenggelam. Sekilas bikin hati iba, air mata hampir jatuh. Tapi ternyata banyak yang palsu, dibuat memakai kecerdasan buatan (AI) hanya untuk mengejar view, like, share, dan tentu saja uang iklan. Padahal bencana aslinya di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sejak akhir November 2025 sudah sangat menyedihkan.
Hingga 13 Desember 2025, jumlah korban jiwa sudah mencapai lebih dari 900 orang, ribuan rumah hancur, ratusan orang hilang, dan hampir dua juta warga terpaksa mengungsi. Yang paling menyedihkan, empati kita yang semula tulus itu mulai terkoyak gara-gara konten-konten palsu begini. Kita yang tadinya ingin membantu malah jadi ragu-ragu, capek, bahkan akhirnya cuek.
Social-Mediated Crisis Communication Model (SMCCM)
Teori Social-Mediated Crisis Communication Model (SMCCM) yang diperbarui tahun 2021 oleh Yan Jin dan kawan-kawan menjelaskan hal ini. Teori ini sangat relevan di zaman sekarang karena mengatakan bahwa di era media sosial, krisis tidak hanya soal kejadian alamnya, melainkan juga soal bagaimana informasi mengalir melalui tiga pelaku utama: aktor krisis, audiens (kita semua), dan platform (TikTok, Instagram, X). Ketiga pelaku ini saling berinteraksi, saling memengaruhi, dan akhirnya membentuk narasi yang kita terima setiap hari.
Aktor krisis sekarang tidak lagi hanya pemerintah, BNPB, atau relawan di lapangan. Ada aktor baru yang jauh lebih lincah: pembuat video AI palsu. Mereka tahu betul psikologi manusia. Konten yang membuat orang takut, kaget, atau menangis akan menyebar dengan sangat cepat. Jadi mereka memakai alat AI seperti Midjourney, VEO 3.1, Kling dan deretan engine-engine Ai terbaru untuk membuat video yang terlihat sangat realistis.
Lalu mereka beri caption dramatis: “Banjir di Padang parah sekali nih, ini footage asli”, padahal itu hasil generator gambar. Begitu diunggah, algoritma media sosial langsung senang. Video itu langsung didorong ke beranda jutaan orang. Dalam hitungan jam, sudah puluhan juta views, ribuan komentar “Ya Allah lindungi korban”, dan ribuan share. Yang untung tentu saja pembuatnya: engagement tinggi, pendapatan iklan melonjak. Yang rugi? Korban asli yang penderitaannya dijadikan bahan hiburan.
Kita sebagai audiens juga tidak bisa lepas tangan. Kita ikut berperan besar dalam dinamika ini. Awalnya kita lihat video itu, hati langsung tersentuh. “Kasihan sekali, harus dibantu!” Lalu kita share ke grup keluarga, ke story Instagram, ke WhatsApp. Tapi begitu ketahuan palsu kita langsung kecewa. Video Ai, bagi sebagian kalangan praktisi sosial media, bisa dibedakan dari video asli dengan melihat ciri-ciri spesifik, namun belum tentu bagi kalangan awam. Untungnya pada semua konten ai yang beredar, ada saja komentar yang membocorkan bahwa video tersebut dihasilkan oleh Ai. “Lagi-lagi bohongan nih.”
Fenomena ini lama-kelamaan membuat kita jadi lelah. Empati kita mulai tumpul. Yang tadinya ingin berdonasi, jadi mikir dua kali. Yang tadinya ingin jadi relawan, jadi ragu karena takut ditipu lagi. Inilah yang disebut emotional contagion: emosi menyebar cepat, tapi juga cepat habis. Yang lebih parah, kita mulai skeptis terhadap setiap berita bencana, termasuk yang benar-benar asli. Akhirnya korban yang membutuhkan bantuan malah terabaikan.
Platform media sosial menjadi “penutup mata” yang paling besar. Algoritma mereka dirancang untuk menjaga kita tetap betah scroll. Konten yang paling membuat orang takut, marah, atau kagum akan diprioritaskan. Video AI yang sensasional itu punya semua bahan itu: musik dramatis, efek visual menyeramkan, narasi hiperbolis. Jadi video itu terus muncul di atas feed kita, sementara update resmi dari BNPB—yang biasanya lebih kering dan faktual—malah tenggelam. Akhirnya kita semua terjebak di dunia maya yang penuh drama, padahal di dunia nyata orang-orang sedang berjuang melawan air bah, lumpur, dan trauma. Algoritma tidak peduli apakah konten itu benar atau palsu, yang penting engagement tinggi. Inilah yang membuat misinformasi menyebar lebih cepat daripada kebenaran.
Dampaknya sungguh besar dan nyata. Pertama, penanganan bencana terganggu. Banyak warga di daerah terdampak bingung mana informasi yang benar. Ada yang menolak dievakuasi karena percaya hoaks bahwa banjir sudah surut. Ada juga yang menunggu bantuan dari “11 negara” yang ternyata cuma hoaks. Kedua, donasi dan semangat membantu menurun drastis. Banyak orang sudah lelah dengan hoaks, jadi enggan membuka dompet. Ketiga, kepercayaan kita terhadap berita bencana hancur. Padahal di tengah krisis, kepercayaan adalah modal utama untuk koordinasi dan solidaritas. Kalau kepercayaan sudah hilang, maka solidaritas juga ikut hilang.
Warga mendorong perahu yang membawa sepeda motor saat melintasi banjir di Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Sabtu, 6 Desember 2025. Banjir yang terjadi di Kabupaten Bandung meluas hingga berdampak ke 14 kecamatan dengan volume air yang mengal (Antara)
Pelajaran yang Bisa Dipetik
Jadi, pelajaran apa yang bisa dipetik dari sini?
- Jangan langsung share kalau belum yakin. Cobalah deteksi dulu ciri-ciri AI pada video atau image, jika kesulitan bisa cek dulu memakai reverse image search, Google Lens, atau alat deteksi AI seperti Hive Moderation.
- Pemerintah dan platform harus bekerja sama. Beri label “AI-generated” yang jelas dan wajib, serta ubah algoritma agar tidak hanya mengejar view, melainkan juga kebenaran.
- Kita sebagai audiens harus lebih cerdas. Kalau melihat konten bencana, fokus pada yang benar-benar membantu: cerita korban asli, update relawan, atau link donasi resmi dari lembaga terpercaya seperti Kitabisa atau PMI.
- Empati tidak boleh dijadikan hiburan. Tragedi orang lain bukan konten untuk kita scroll sambil minum kopi atau makan malam.
- Mulai dari diri sendiri: sebelum share, tanya dulu, “Ini membantu korban apa malah menyusahkan mereka?” Sekecil apa pun, setiap tindakan kita memengaruhi ekosistem informasi.
Bencana banjir bandang dan longsor di Sumatera akhir November 2025 ini bukan hanya soal air dan lumpur yang menggenangi rumah-rumah serta menghancurkan desa-desa, melainkan juga banjir informasi palsu, termasuk konten palsu dari video atau gambar buatan AI yang membanjiri linimasa dan menggenangi hati kita dengan kepanikan tak berdasar. Hoaks seperti gambar lama atau video sensasional yang disebarkan seolah peristiwa terkini bisa menyesatkan, mengurangi kepercayaan terhadap laporan resmi BNPB, serta membuat donasi tertunda atau salah sasaran. Sementara itu, korban di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat—dengan ratusan jiwa hilang dan ribuan mengungsi—sedang berjuang bertahan hidup di tengah kehancuran.
Jika kita tidak hati-hati, empati yang terkoyak ini akan menjadi hal biasa di dunia digital penuh sensasi. Padahal, empati adalah kekuatan terbesar manusia yang mendorong solidaritas sejati. Mari mulai sekarang lebih bijak dalam scroll dan share: verifikasi sumber, pause sebelum repost, dan bagikan hanya dari kanal resmi. Jaga empati tetap utuh, salurkan melalui donasi ke BNPB atau bantuan logistik nyata seperti air bersih, makanan, dan obat-obatan. Karena di tengah banjir lumpur yang mematikan, yang paling dibutuhkan bukan hanya air bersih, melainkan hati yang masih peduli dan informasi akurat untuk mendukung pemulihan bersama.
Baca Juga: Pemulihan Pascabanjir dan Longsor Aceh Dibagi Jadi 6 Kluster
Ilustrasi - Kondisi pascabencana banjir bandang di Aceh Tamiang, Rabu, 3 Desember 2025. (ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas) (Antara)