Sinergi Lintas Sektor Jadi Kunci Hadapi Deindustrialisasi dan Dorong Transformasi Ekonomi

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 25 Mei 2025, 16:55
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Penulis & Editor
Bagikan
Ilustrasi industri tekstil. Ilustrasi industri tekstil. (Ntvnews.id)

Ntvnews.id, Jakarta - Indonesia kini menghadapi titik kritis dalam peta perjalanan ekonominya. Meskipun sektor industri masih menjadi kontributor utama bagi Produk Domestik Bruto (PDB), tren menunjukkan penurunan signifikan.

Jika pada awal 2000-an kontribusi industri berada di angka sekitar 26 persen, maka pada kuartal pertama 2025, angkanya merosot menjadi hanya 19 persen. Tren ini menimbulkan kekhawatiran atas ancaman deindustrialisasi dini yang tengah mengintai.

Fithra Faisal Hastiadi, ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, menyebut situasi ini sebagai peringatan serius bagi arah ekonomi nasional

“Purchasing Manager's Indeks (PMI) bulan April turun ke angka 4,67, menunjukkan kontraksi. Ini terjadi karena produsen menumpuk stok barang untuk permintaan yang tak kunjung datang,” ujarnya dalam forum Innovation Summit Southeast Asia 2025 (ISSA) di Jakarta baru-baru ini.

Data kuartal I/2025 dari Badan Pusat Statistik turut menegaskan perlambatan ini. Beberapa sektor industri non-migas bahkan mengalami kontraksi, seperti industri alat angkutan yang menyusut -3,46 persen secara tahunan, industri mesin -1,38 persen, dan sektor tembakau mengalami penurunan terdalam sebesar -3,77 persen.

Baca Juga: Hashim Pede Hilirisasi Bakal Dorong Pertumbuhan Ekonomi RI ke Angka 8 Persen

Fithra menegaskan bahwa solusi untuk jangka panjang tidak bisa lagi hanya mengandalkan stimulus sesaat. Ia mendorong agar Indonesia kembali masuk dalam rantai produksi global melalui pembukaan perdagangan dan reformasi domestik

“Koherensi kebijakan dan reformasi regulasi adalah fondasi utama. Tanpa itu, industri kita akan terus tertinggal,” tegasnya.

Ia juga menyoroti perlunya kerja sama lintas sektor melalui pendekatan quadruple helix, melibatkan pemerintah, dunia usaha, akademisi, dan masyarakat.

“Kita butuh faktor penyatu yang mampu mendorong lompatan pembangunan. Bukan sekadar program jangka pendek, tapi konsensus pertumbuhan jangka panjang,” tambahnya.

Sementara itu, Prof. Bustanul Arifin dari Universitas Lampung menekankan masih lemahnya dukungan terhadap riset dan inovasi di Indonesia.

Baca Juga: Pakar Pede Ekonomi RI 2025 Bisa Tumbuh di Atas 5 Persen

“86 persen pendanaan riset masih berasal dari sektor publik. Partisipasi swasta hanya 14 persen. Padahal, inovasi tak bisa berjalan tanpa kemitraan yang kuat,” jelasnya.

Ia turut menyoroti hambatan dalam implementasi insentif riset yang sudah diatur dalam undang-undang, namun belum optimal di lapangan.

“Undang-Undang sudah mengatur insentif pajak untuk investasi R&D, tapi implementasinya masih jauh dari harapan,” katanya.

Bustanul juga mengkritisi pendekatan inovasi yang masih bersifat top-down. Ia menyarankan model kolaborasi seperti ABG (Akademisi, Bisnis, Pemerintah) dan quadruple helix yang melibatkan masyarakat.

“Bahkan jika hanya satu atau dua kemitraan yang berhasil, dampaknya bisa sangat besar,” ujarnya.

Baca Juga: Perundingan Dagang China-AS Beri Sinyal Positif Ekonomi Dunia

Di sisi lain, Prof. Tikki Pangestu, mantan Direktur Riset Kebijakan dan Kolaborasi WHO, menekankan pentingnya menjembatani hasil riset dengan kebijakan publik.

“Banyak riset di Indonesia yang hanya berhenti di jurnal. Padahal, kita punya lembaga seperti BKPK yang seharusnya menjadi penghubung antara sains dan kebijakan,” katanya.

Ia juga menyoroti pentingnya regulasi yang proporsional dalam sektor kesehatan, khususnya untuk produk tembakau alternatif.

“Dua dari tiga pria Indonesia adalah perokok. Kita perlu mempertimbangkan solusi seperti THR (Tobacco Harm Reduction) untuk menurunkan beban penyakit kronis,” jelasnya.

Ashok Kaul, Senior Partner di firma konsultan Roland Berger, turut menggarisbawahi perlunya keseimbangan antara penawaran, permintaan, dan kebijakan sebagai tiga pilar utama transformasi industri. Menurutnya, sisi penawaran harus diberi ruang untuk bereksperimen dan berinovasi. Di sisi permintaan, regulasi harus melindungi konsumen tanpa menghambat inovasi.

Baca Juga: Fakta-fakta Depot Air di Bekasi Produksi Le Minerale Palsu dari Air Tanah

Namun, pilar yang paling krusial menurut Ashok adalah kebijakan yang menjadi jembatan antara keduanya.

“Di sinilah peran kebijakan fiskal seperti pajak menjadi paling menentukan. Saya pendukung kuat regulasi berbasis risiko (risk-proportionate regulation),” ungkapnya.

Ia mencontohkan langkah pemerintah dalam memberikan insentif adopsi kendaraan listrik sebagai wujud nyata dari kebijakan berbasis risiko. Menurutnya, pendekatan ini memungkinkan inovasi berkembang tanpa mengesampingkan keselamatan dan kepentingan publik.

Para narasumber sepakat bahwa masa depan industri Indonesia sangat bergantung pada terciptanya ekosistem kolaboratif yang mendukung inovasi, penguatan sinergi lintas sektor, dan kebijakan publik yang inklusif serta berjangka panjang. Tanpa langkah nyata ke arah tersebut, transformasi menuju ekonomi berbasis pengetahuan akan sulit tercapai.

x|close