Pakar Soroti Pentingnya Pemantauan Mental Peserta PPDS

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 10 Apr 2025, 18:22
thumbnail-author
Katherine Talahatu
Penulis
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Editor
Bagikan
Konferensi Pers Polda Jabar pada Rabu (9/4), terkait kasus Dokter Residen Unpad yang menjadi Tersangka Kekerasan Seksual Keluarga Pasien RSHS Bandung . Priguna Anugerah, oknum residen anestesi dari Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Konferensi Pers Polda Jabar pada Rabu (9/4), terkait kasus Dokter Residen Unpad yang menjadi Tersangka Kekerasan Seksual Keluarga Pasien RSHS Bandung . Priguna Anugerah, oknum residen anestesi dari Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas (INSTAGRAM jktnews)

Ntvnews.id, Jakarta - Pengamat manajemen kesehatan lulusan Universitas Airlangga, dr. Puspita Wijayanti, menegaskan pentingnya penerapan sistem pemantauan berkelanjutan terhadap kondisi kesehatan mental peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Ia menilai bahwa skrining psikologis di tahap awal seleksi belum cukup untuk menjamin kestabilan psikis peserta selama masa pendidikan.

Pernyataan ini disampaikan menyusul kasus kekerasan seksual yang melibatkan PAP, peserta PPDS Universitas Padjadjaran pada Program Studi Anestesiologi, yang melakukan tindakan asusila terhadap anggota keluarga pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung.

"Pemeriksaan psikologis saat seleksi hanya memberikan foto diam (static snapshot) dari kondisi mental kandidat pada titik waktu tertentu. Ia berguna sebagai filter awal, tetapi tidak memiliki fungsi prediktif terhadap kondisi psikis di kemudian hari," ujar Puspita dalam keterangannya di Jakarta, Kamis, 10 April 2025. 

Baca juga: Begini Reaksi Dokter PPDS Priguna Anugerah Saat Tahu Korban Siuman Usai Diperkosa

Ia menjelaskan bahwa sistem pendidikan kedokteran memiliki tekanan tinggi dengan jam kerja yang panjang, beban emosional dari interaksi dengan pasien, serta relasi hierarkis yang kerap kali keras dan penuh kompetisi. Faktor-faktor ini, menurutnya, dapat memicu perubahan signifikan dalam kesehatan mental peserta didik.

Kesehatan jiwa dalam pendidikan klinik bukan perkara lolos tes awal, tetapi bagaimana sistem secara aktif memantau, mendeteksi, dan merespons dinamika psikologis yang berkembang selama proses pembelajaran,” tambahnya.

Sayangnya, kata Puspita, masih banyak institusi pendidikan kedokteran dan rumah sakit yang belum memiliki sistem monitoring psikologis yang berkelanjutan dan responsif. Evaluasi mental secara periodik tidak dilakukan, intervensi dini berbasis observasi di lapangan belum diterapkan, dan tidak tersedia ruang aman bagi peserta untuk mengungkapkan kondisi psikis mereka tanpa takut terhadap stigma.  

Untuk itu, lanjutnya, diperlukan sejumlah inisiatif penting seperti evaluasi psikologis rutin yang menjadi bagian dari kurikulum tersembunyi dalam pendidikan dokter spesialis. Evaluasi ini idealnya dilakukan setiap enam bulan sekali atau pada saat pergantian rotasi utama.

"Rumah sakit pendidikan perlu membentuk Unit Kesehatan Mental Internal yang independen dari struktur akademik, dengan akses langsung ke peserta didik dan kerahasiaan terjamin. Harus ada mekanisme self reporting dan peer alert system, di mana peserta bisa mengakui beban mental atau melaporkan rekan yang mengalami tekanan berat tanpa risiko diskriminasi," jelasnya.

Ia juga menekankan pentingnya pembekalan keterampilan nonklinis kepada peserta program, seperti teknik koping stres, manajemen emosi, serta pengambilan keputusan etis di bawah tekanan. 

Baca juga: Sosok Istri Priguna Anugerah, Dokter PPDS FK Unpad yang Perkosa Keluarga Pasien di Bandung

"Karena ketika tekanan tidak dikawal, burnout bisa menjelma menjadi disosiasi. Ketika kesehatan jiwa diabaikan, luka internal bisa berubah menjadi kekerasan eksternal. Dan ketika sistem menutup mata, maka seluruh ekosistem pendidikan kedokteran ikut bersalah, bukan hanya pada kegagalan individu, tetapi pada gagalnya peradaban medis yang seharusnya menjaga,"  ungkapnya.

Sebelumnya, beredar kabar di media bahwa PAP memiliki kecenderungan somnophilia, yakni gangguan seksual yang ditandai dengan ketertarikan terhadap individu yang tidak sadar. Namun, pihak kepolisian masih akan mendalami pengakuan tersebut melalui pemeriksaan psikologi forensik.

Kabid Humas Polda Jawa Barat, Komisaris Besar Polisi Hendra Rochmawan, dalam keterangannya di Bandung, Rabu, mengungkapkan bahwa insiden tersebut terjadi pada 18 Maret 2025. PAP (31) diduga melakukan tindakan asusila saat korban dalam kondisi tidak sadar setelah diberikan cairan anestesi melalui infus.

(Sumber: Antara) 

x|close