Ntvnews.id, Surabaya - Penolakan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, yang menjadi turunan dari Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023, semakin bergema, terutama di Jawa Timur.
Seruan pembatalan terhadap pasal-pasal yang mengatur produk tembakau disampaikan secara tegas dalam Forum Diskusi Jawa Pos 2025 yang bertajuk "Membedah Dampak PP 28/2024 Terhadap Keberlangsungan Industri Tembakau dan Industri Turunannya di Jawa Timur", yang berlangsung di Surabaya, Selasa, 29 April 2025.
Sejumlah asosiasi dan organisasi menyatakan dukungan terhadap gerakan ini, mulai dari Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM SPSI) Jawa Timur, Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), Asosiasi Luar-Griya Indonesia (AMLI), Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Perkumpulan Pengusaha Kelontong Seluruh Indonesia (PERPEKSI), Dewan Periklanan Indonesia (DPI), Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Jawa Timur, Gabungan Pengusaha Rokok (GAPERO) Surabaya, Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), hingga Perkumpulan Produsen E-Liquid Indonesia (PPEI).
FSP RTMM SPSI menjadi penggagas deklarasi penolakan tersebut, yang menyebut regulasi ini tak hanya mengancam keberlangsungan sektor industri tembakau, tetapi juga dapat memicu dampak sosial dan ekonomi yang signifikan. Jutaan orang yang bergantung pada rantai industri ini—dari petani tembakau hingga pedagang kecil, berpotensi kehilangan mata pencaharian.
Ketua FSP RTMM SPSI Jawa Timur, Purnomo, menegaskan bahwa pasal-pasal tembakau dan makanan-minuman dalam PP 28/2024 adalah ancaman nyata terhadap industri yang selama ini menopang ekonomi daerah.
“Mulai dari hulu hingga hilir, dari petani tembakau dan cengkeh, hingga pekerja di pabrik rokok dan industri makanan minuman yang terkait, semuanya ada di Jawa Timur dan memberikan kontribusi yang sangat besar bagi perekonomian daerah,” katanya dalam keterangannya, Rabu, 30 April 2025.
Ia menyoroti kontribusi sektor ini terhadap pendapatan negara dan daerah melalui penerimaan cukai, yang menurutnya telah menembus angka Rp200 triliun. Namun, seiring dengan munculnya regulasi-regulasi baru yang semakin menekan industri, pihaknya merasa prihatin.
“Dulu ada PP 109/2012, sekarang muncul PP 28/2024. Ini jelas dirasakan dampaknya,” ujar Purnomo.
Beberapa poin dalam PP 28/2024 menjadi sorotan karena dianggap memberatkan, di antaranya larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, serta pembatasan penayangan iklan tembakau di luar ruangan dalam jarak 500 meter dari lokasi serupa. Rencana penyamarataan kemasan rokok tanpa identitas merek yang disebut dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan juga dikritik karena dinilai meniru kebijakan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yang saat ini tengah menghadapi sorotan terkait independensinya.
Purnomo memperingatkan bahwa jika peraturan-peraturan ini terus diberlakukan secara ketat, maka dampaknya bisa kontraproduktif.
“Kalau semua diatur, maka orang akan mencari rokok yang lebih murah, parahnya lagi rokok ilegal. Dampaknya sangat luas sekali. Pendapatan negara berkurang, pabrik banyak tutup. Kalau itu terjadi, anggota kami ter-PHK. Jangan sampai ini terjadi,” ujarnya.
FSP RTMM SPSI Jawa Timur mendesak agar pemerintah segera mencabut pasal-pasal tembakau yang tercantum dalam PP 28/2024
“Dampaknya sangat negatif pada ekonomi Jawa Timur dan nasional,” tegas Purnomo lagi.
Gelombang penolakan yang dimotori FSP RTMM SPSI ini menjadi cerminan nyata dari keresahan pelaku industri di tingkat akar rumput. Pemerintah diharapkan segera membuka ruang dialog yang lebih inklusif dengan seluruh pihak terkait guna menemukan solusi yang seimbang dan berkelanjutan bagi masa depan industri tembakau di Indonesia.