Ntvnews.id, Jakarta - Crystal Palace seperti keluar dari era kegelapan saat berhasil mengamankan trofi Piala FA dengan mengalahkan Manchester City di Wembley Stadium, Sabtu malam (17/5). Glad All Ove pun berkumandang bak kidung pujian bagi pendukung Palace.
Palace sudah berdiri sejak 1905. Namun sepanjang perjalanan klub, belum sekalipun tim asal kota London Selatan itu mampu memenangkan trofi utama. Sempat dua kali melaju ke final Piala FA pada tahun 1989–90, 2015–16, Crystal Palace selama ini selalu pulang dengan tangan hampa.
Baca juga: Arsenal Imbang Lawan Crystal Palace, Mikel Arteta Kecewa
Langkah Palace musim ini sebenarnya terasa berat. Mengawali musim dengan 8 laga tanpa kemenangan jadi start terburuk yang pernah dilakukan Palace sejak tahun tahun 1992-1993.
Namun kesabaran Oliver Glasner membuat awan hitam itu berubah cerah di pengujung musim. Sebagai nakhoda, Glasner mengambil tanggung jawan penuh atas arah kapal.
Dia tidak pernah menangisi apa yang tidak dimilikinya. Saat striker Michael Olise pindah ke Bayern Munich, Glasner tetap tenang. Begitu juga ketika bek Joachim Andersen pindah ke Fulham.
Glasner juga tak mengeluh ketika amunisi barunya, Eddie Nketiah belum siap digunakan. Sebaliknya, dengan skuad seadanya Glasner terus mencari celah memenangkan pertempuran.
Toh beberapa pemainnya masih punya pengalaman internasional. Eberechi Eze, Adam Wharton, Marc Guehi, dan kiper Dean Henderson merupakan jebolan Piala Eropa 2024. Sementara Jean-Philippe Mateta pernah memperkuat Prancis di final Olimpiade. Sedangkan dua nama lagi, yakni Jefferson Lerma dan Daniel Munoz merupakan amunisi Kolombia di Copa America.
Sejak awal, Glasner selalu percaya kalau timnya akan menjadi sebuah kekuatan saat mereka kembali bersemangat. Dia tidak pernah ragu dengan pemainnya, apalagi menyalahkan pemainnya. Saat mereka bermain buruk, pelatih asal Austria itu justru datang mendekat.
"Ini waktunya untuk memeluk para pemain, bukan menendang mereka," katanya Oktober lalu.
Keyakinan Glasner akhirnya membuahkan hasil. Gol tunggal Eberechi Eze ke gawang Manchester City mengantarkan Crystal Palace keluar dari era kegelapan. "Itulah yang perbuatan Oliver Glasner - ia membuat kita semua percaya," kata pemilik Palace, Steven Parish kepada BBC One segera setelah kemenangan Palace. "Anda bisa melihatnya di akhir. Saya sangat bangga."
Parish menegaskan Glasner tidak pernah diragukan sejak awal. Kerja keras dan sifatnya yang selalu optimistis di tempat latihan membuat manajemen tetap bersabar selama ini.
Glasner merancang timnya dengan hati-hati. Trio penyerang Eze, Ismaila Sarr, dan Mateta, ditempat sebagai tukang gedor mematikan. Selain itu, Palace memiliki kekuatan di tempat lain, yakni Munoz sebagai pemain bertahan dengan naluri menyerang yang luar biasa.
Musim ini, dia terlibat dalam proses terciptanya 13 gol di semua kompetisi. Enam gol dan tujuh assist menjadikannya bek sayap paling agresif di Liga Inggris bersama Pedro Porro dari Spurs.
Tiga bek Eagles, Chris Richards, Lacroix, dan Guehi, tampil sangat solid.
Menariknya, saat kondisi sulit Palace juga punya faktor X. Pemain-pemain besar Glasner, yang ia yakini akan bangkit dari keterpurukan di awal musim, telah tampil gemilang sepanjang perjalanan Piala FA ini, dan kembali menjadi pahlawan saat melawan City. Tendangan tajam Eze pada menit ke-16 jadi bukti. Gol yang jadi penentu kemenangan itu lahir dari serangan balik khas Palace.
Reaksi Glasner saat sejarah tercipta sesuai dengan gaya manajemennya - tenang dan terukur. Dia berjalan untuk berjabat tangan dengan rekan sejawatnya di City, Pep Guardiola.
"Anda bisa melihat apa yang bisa Anda dapatkan saat Anda bersabar," kata Glasner.
"Sebagai pemain dan manajer, kesuksesan terbesar itu bukan mengangkat trofi juara. Kesuksesan itu adalah memberikan puluhan ribu fans kita sebuah momen dalam hidup mereka. Memberikan mereka waktu yang menggembirakan," beber Glasner. "Mungkin mereka punya masalah di rumah jadi hanya bikin mereka senang. Kami lakukan itu untuk fans," ujar Glasner menambahkan.