Ntvnews.id, Jakarta - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyampaikan kekhawatirannya terkait kenaikan pungutan ekspor (PE) minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dari 7,5 persen menjadi 10 persen yang akan mulai berlaku pada 17 Mei 2025.
Ketua Umum Gapki Eddy Martono menilai kebijakan ini akan semakin memberatkan pelaku industri sawit nasional.
Ia menyebutkan dikereknya pungutan ekspor tersebut akan berdampak langsung pada melonjaknya beban biaya ekspor, sehingga menurunkan daya saing produk sawit Indonesia di pasar global.
"Harga minyak sawit kita jadi lebih mahal dibandingkan harga negara tetangga," ucap Eddy Rabu, 14 Mei 2025.
Baca juga: Prabowo soal Palestina: Jangan Sekadar Diskusi dan Susun Resolusi!
Eddy juga menyoroti bahwa industri kelapa sawit saat ini sudah menanggung tiga jenis beban fiskal, yaitu kewajiban pasar domestik atau Domestic Market Obligation (DMO), pungutan ekspor (PE), dan bea keluar (BK).
Secara keseluruhan, total beban yang harus ditanggung pelaku industri mencapai sekitar 221 dolar AS per metrik ton.
Kendati demikian, Eddy belum merinci berapa besar tambahan beban akibat kenaikan pungutan ekspor menjadi 10 persen.
Namun, ia menegaskan bahwa kebijakan ini akan memberikan tekanan tambahan terhadap sektor kelapa sawit nasional.
Seperti diketahui, pemerintah baru saja menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 30 Tahun 2025 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan (BLU BPDP) pada Kementerian Keuangan.
Baca juga: Puan Maharani Jadi Presiden Forum Parlemen Negara OKI
Adapun beleid itu ditetapkan pada 5 Mei 2025 dan diundangkan pada 14 Mei 2025.
Dalam beleid itu, tarif pungutan untuk berbagai jenis produk sawit mengalami kenaikan. Minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) yang sebelumnya dikenakan pungutan 7,5 persen, kini dikenai tarif 10 persen.