Ntvnews.id, Jakarta - Sejumlah perusahaan otomotif dari China dan Eropa mulai menunjukkan minat untuk menanamkan modal di Indonesia, khususnya di sektor pengembangan baterai dan kendaraan listrik.
Hal ini merupakan dampak dari kebijakan tarif impor yang diberlakukan oleh Amerika Serikat terhadap produk-produk asal China.
Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan (IMATAP) Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Mahardi Tunggul Wicaksono, mengatakan beberapa produsen otomotif listrik dan baterai dari China telah memulai diskusi awal dengan pihak Kemenperin.
"Ada beberapa produsen dari industri otomotif listrik maupun baterai listrik dari China yang sudah mulai diskusi dengan kami," ucap Tunggul, Senin, 19 Mei 2025.
Lebih lanjut, adanya perang tarif tidak selalu membawa dampak negatif saja.
Hal ini dibuktikan dengan adanya keinginan kerja sama beberapa perusahaan China dan Eropa untuk menanamkan modalnya di Tanah Air.
"Mayoritas dari China, dan dari Eropa juga sudah ada," jelasnya.
Untuk nilai investasi masih didiskusikan, namun pada prinsipnya perusahaan yang menanamkan modalnya di Indonesia berkeinginan untuk melanjutkan dan memindahkan investasinya ke Tanah Air.
"Prinsipnya masih penjajakan awal, karena mereka punya teknologi, mereka punya teknologi kendaraan listrik, motor listrik. Mereka lagi mengkaji, bagaimana kalau memindahkan dan meneruskan investasinya di Indonesia," ujarnya.
Lebih lanjut, saat ini jumlah pabrikan mobil listrik sudah ada sembilan perusahaan di Indonesia, fasilitas manufaktur bus listrik tujuh perusahaan, sementara pabrik kendaraan listrik roda dua dan tiga mencapai 63 perusahaan.
Baca juga: Grup FB Fantasi Sedarah Viral, Meta Tegaskan Komitmen Perangi Konten Eksploitasi Seksual
Masing-masing kapasitas produksi dari segmen kendaraan tersebut yakni 70.600 unit per tahun untuk mobil listrik, 3.100 unit per tahun untuk bus listrik, serta 2,28 juta unit per tahun untuk motor listrik roda dua dan tiga.
Adapun total investasi keseluruhan kendaraan listrik di Indonesia untuk semua segmen yakni mencapai Rp5,63 triliun.
Sebelumnya, Peneliti pada Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada (UGM) Ronald Eberhard menyampaikan, dinamika perang tarif yang terjadi dalam perdagangan internasional saat ini, merupakan peluang bagi Indonesia untuk menjadi negara produsen manufaktur di berbagai sektor.
Perang tarif antara Amerika Serikat (AS) dengan China telah membuat peta perdagangan dunia berubah, dan hal ini membuat banyak investor global mencari lokasi penanaman modal baru yang dikenakan tarif rendah.
"In fact, Indonesia itu sebenarnya dikenakan tarif balasannya rata-rata 32 persen. Itu lebih rendah dibandingkan pesaing kita yang terdekat contoh seperti Vietnam 46 persen. Sebenarnya ada dari konstelasi ini peluang untuk kita mengambil keuntungan dari perang dagang," ujarnya.
(Sumber: Antara)