Ntvnews.id, Jakarta - Pusat Studi CILEM bekerja sama dengan Pascasarjana UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon menggelar bedah buku Fikih Zakat Progresif karya Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, Lc., M.A. Buku ini menjadi sorotan dalam forum akademik yang dihadiri dosen, mahasiswa, serta pegiat zakat, etika Islam, dan isu-isu keadilan sosial.
Acara yang berlangsung di Aula Lantai 2 Pascasarjana UIN Cirebon ini tidak hanya menjadi ruang diskusi intelektual, tetapi juga momentum penting dalam mendorong pembaruan pemahaman fikih zakat yang lebih kontekstual dan responsif terhadap tantangan zaman.
Dalam sambutannya, Prof. Dr. H. Waryono Abdul Ghafur, M.Ag., Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama RI, menekankan bahwa zakat harus dikelola secara profesional dengan pendekatan berbasis data, keadilan, dan keberpihakan terhadap kelompok rentan.
“Tahun 2024, dari 6.673 amil yang terdata, sebanyak 69,89 persen adalah laki-laki dan hanya 30,11 persen perempuan. Ini menunjukkan adanya ketimpangan representasi gender dalam kelembagaan zakat yang harus segera diperbaiki,” ujar Prof. Waryono.
Ia juga menyoroti pentingnya integrasi data berbasis NIK, gender, dan kualifikasi pendidikan yang mulai diterapkan melalui Sistem Informasi Zakat Kemenag sejak 2025. Menurutnya, pengelolaan zakat harus menyasar kebutuhan spesifik mustahik perempuan dan kelompok marginal lainnya yang selama ini kurang terjangkau.
Lebih jauh, Prof. Waryono mengkritisi rendahnya kesadaran berzakat di kalangan umat Islam. Ia mencatat, dari sekitar 238 juta Muslim di Indonesia, muzaki perorangan baru mencapai 28,1 juta, sedangkan muzaki dari badan usaha hanya sekitar 290 ribu.
“Zakat adalah salah satu rukun Islam yang paling sering diabaikan. Kita memiliki potensi zakat sangat besar, namun masih banyak obyek zakat yang belum tergarap secara optimal,” ujarnya.
Ia juga menegaskan perlunya revitalisasi budaya akademik dalam dunia zakat. “Kita perlu menyalakan kembali api kajian ilmiah dalam ranah zakat. Forum seperti ini penting untuk menguji ulang gagasan dan membangun basis fikih yang kontekstual,” tambahnya.
Penulis buku, Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, menyampaikan bahwa Fikih Zakat Progresif lahir dari kegelisahan atas pendekatan fikih yang terlalu normatif dan minim pertimbangan sosial. Ia menawarkan pembacaan ulang terhadap subjek dan objek zakat, termasuk kemungkinan zakat dari lembaga, aset kontemporer, serta reinterpretasi golongan penerima (asnāf) seperti perempuan miskin, lansia, dan difabel.
Salah satu pembaruan penting yang ditawarkan adalah redefinisi nisab berbasis keranjang konsumsi masyarakat, bukan semata-mata emas atau hasil pertanian. Ia juga mendorong agar zakat fitrah dihitung dengan pendekatan nilai aktual yang mencerminkan kebutuhan riil masyarakat.
“Kita perlu meninggalkan pendekatan nominal tetap seperti 2,5 kg beras. Pendekatan nilai lebih relevan untuk menjawab kebutuhan sosial hari ini,” ujarnya.
Dalam buku tersebut juga ditegaskan pentingnya profesionalisme amil zakat—baik dari sisi akuntabilitas, kapasitas manajerial, hingga partisipasi publik. Zakat, menurut Faqih, tidak cukup dikelola dengan dalil fikih semata, tetapi juga harus dengan pemahaman mendalam terhadap kondisi sosial masyarakat.
Diskusi berlangsung dinamis dengan partisipasi aktif dari kalangan mahasiswa dan akademisi. Beberapa peserta menyoroti pentingnya standardisasi klasifikasi mustahik secara nasional serta integrasi dengan sistem pendataan kemiskinan.
Acara ini bukan sekadar bedah buku, tetapi juga menjadi ajang mempertemukan wacana fikih klasik dengan tantangan kontemporer. Fikih Zakat Progresif hadir sebagai ikhtiar untuk menjadikan zakat sebagai sistem distribusi kekayaan yang adil, inklusif, dan partisipatif.
Forum ini diharapkan menjadi inspirasi bagi lembaga zakat, akademisi, dan masyarakat untuk membangun ekosistem zakat yang tidak hanya taat syariat, tetapi juga transformatif dan berpihak pada keadilan sosial.