Ntvnews.id, Jakarta - Gerakan media sosial dengan tagar #KaburAjaDulu menjadi viral dan mendapat perhatian luas, tidak hanya di Indonesia tetapi juga dari media internasional.
Fenomena ini mencerminkan ketidakpuasan masyarakat terhadap berbagai permasalahan di Indonesia, yang mendorong generasi muda untuk mempertimbangkan pindah ke luar negeri. Tagar tersebut muncul sebagai bentuk kritik serta tuntutan agar pemerintah kembali ke jalur yang benar dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan amanat UUD 1945.
Media asing South China Morning Post melaporkan bahwa anak muda Indonesia menggunakan tagar #KaburAjaDulu di berbagai platform seperti X dan TikTok untuk menyuarakan keinginan merantau.
"Kalau kamu tidak terlalu terikat dengan negara ini, pertimbangkan benar-benar untuk #KaburAjaDulu. Serius," tulis pengguna X, Petra Novandi.
Baca Juga: Viral Tagar #KaburAjaDulu, Menteri ATR Nusron: Kurang Cinta Tanah Air
Para pengamat mengungkapkan bahwa ada berbagai faktor di balik tren ini. Pendiri Media Kernels Indonesia, Ismail Fahmi, menyebut kondisi ekonomi, ketidakadilan sosial, dan harapan akan masa depan yang lebih baik sebagai pemicu utama perbincangan ini.
Di media sosial, banyak pengguna membagikan tips serta membahas kelebihan dan kekurangan hidup di luar negeri. Salah satu pengguna X, Hafizha Anisa, mengungkapkan bahwa meskipun merasa jenuh dengan berbagai permasalahan di Indonesia, ia tetap mencintai alam, makanan, cuaca, dan budaya yang ada di dalam negeri.
Sementara itu, Yoel Sumitro, seorang warga Indonesia yang tinggal di Jerman, membagikan daftar negara dengan standar gaji tinggi, kualitas hidup yang baik, serta kemudahan visa dan peluang kerja di sektor teknologi. Ia merekomendasikan Singapura, Amsterdam, Tokyo, Berlin, dan Dubai sebagai tujuan utama bagi pekerja di bidang teknologi.
"Banyak yang bertanya langsung kepada saya bagaimana cara bekerja di luar negeri," ujar Sumitro.
Pria asal Solo ini telah berkarier di Jerman, Singapura, dan AS sebelum akhirnya menjadi senior director di sebuah perusahaan di Berlin pada 2022.
Sumitro pertama kali tinggal di luar negeri pada 2011 saat melanjutkan studi magister di University of Washington. Setelah lulus, ia bekerja di beberapa negara sebelum kembali ke Indonesia pada 2018.
"Bekerja di Indonesia menyenangkan karena dekat dengan keluarga dan teman. Saya tidak memiliki keluhan karena mendapatkan fasilitas dan gaji yang baik sebagai pekerja berketerampilan tinggi," katanya.
Namun, setelah empat tahun di Indonesia, ia merasa kariernya stagnan. "Jika ingin berkembang lebih jauh, saya harus ke luar negeri. Saya ingin merasakan menjadi eksekutif dalam tim multinasional," tambahnya.
Baca Juga: Viral #KaburAjaDulu Menyeruak di Kalangan Anak Muda Indonesia, Bentuk Kekecewaan?
Menanggapi fenomena ini, Menteri Perlindungan Pekerja Migran, Abdul Kadir Karding, menyatakan bahwa pemerintah siap membantu anak muda dalam memperoleh keterampilan kerja di luar negeri. "Kalau mau pergi, pastikan untuk bekerja di luar negeri. Daripada pergi tanpa arah, kami akan membantu mempersiapkan kalian," ujarnya di kompleks parlemen Senayan.
Yanuar Nugroho, peneliti senior di ISEAS-Yusof Ishak Institute Singapura, menilai bahwa fenomena ini bukanlah tren baru, tetapi kali ini motifnya lebih kompleks. Banyak generasi muda merasa tidak memiliki harapan di Indonesia.
"Mereka melihat kondisi politik, ekonomi, sosial, dan hukum tidak membaik. Namun, migrasi dalam jumlah besar tetap sulit karena mencari pekerjaan di luar negeri tidaklah mudah," kata Yanuar.
Menurutnya, gerakan ini lebih merupakan bentuk ekspresi ketidakpuasan daripada eksodus nyata. "Banyak yang hanya ingin menunjukkan bahwa jika mereka punya uang, mereka akan pergi," tambahnya.
Fenomena ini juga bertolak belakang dengan tingginya tingkat kepuasan publik terhadap Presiden Prabowo Subianto. Namun, di lapangan, sentimen yang berkembang justru menunjukkan ketidakpuasan yang cukup besar.
Primawan Satrio, warga Indonesia yang telah tinggal di Korea Selatan sejak 2020, mengaku enggan kembali ke Indonesia karena kebijakan pemerintah. Ia menyoroti pemotongan anggaran pendidikan dan penelitian yang berdampak pada karier istrinya sebagai peneliti medis.
Pemerintahan Prabowo berencana memangkas anggaran kementerian dan lembaga negara sebesar Rp306 triliun, termasuk anggaran Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang berkurang Rp1,4 triliun atau hampir 25 persen dari total Rp5,8 triliun.
"Kami tidak berencana kembali karena istri saya ingin berkarier di luar negeri, baik sebagai dokter spesialis di Jepang atau Australia maupun sebagai peneliti di Korea Selatan. Tahun depan, kami mempertimbangkan mengajukan izin tinggal permanen di sini," kata Primawan.
Gerakan ini juga menimbulkan kekhawatiran akan potensi brain drain. Pada 2023, tercatat hampir 4.000 warga Indonesia menerima paspor Singapura antara 2019 dan 2022.
Namun, menurut Sumitro di Berlin, fenomena ini bukanlah kerugian bagi Indonesia.
"India mendapat banyak manfaat dari warganya yang bekerja di AS dan Eropa, baik melalui remitansi maupun transfer pengetahuan," ujarnya.