Ntvnews.id, Jakarta - Sebuah penelitian terbaru mengungkap bahwa lonjakan pajak besar-besaran yang terjadi sekitar 50 tahun lalu turut berkontribusi terhadap penurunan drastis tingkat kesuburan di Korea Selatan. Hasil studi ini dinilai dapat menjadi pelajaran penting bagi para pengambil kebijakan saat ini.
Dilansir dari Newsweek, Sabtu, 7 Juni 2025, yang telah mencoba menghubungi Kedutaan Besar Korea Selatan di AS untuk memperoleh tanggapan, studi tersebut menyoroti sejumlah hal krusial terkait kebijakan pajak dan dampaknya terhadap demografi.
Tingkat kelahiran di Korea Selatan mengalami penurunan tajam, dari sekitar 4,5 anak per perempuan pada tahun 1970 menjadi hanya 0,72 pada 2023. Angka ini jauh dari ambang batas 2,1 kelahiran per perempuan yang dibutuhkan untuk menjaga populasi tetap stabil.
Kini, Korea Selatan memiliki tingkat kesuburan paling rendah di dunia. Situasi ini bahkan telah digolongkan sebagai krisis nasional oleh pemerintah setempat.
Baca Juga: Resesi Seks, Negara Besar Ini Akui Anak di Luar Nikah
Meskipun pemerintah telah menggelontorkan lebih dari 200 miliar dolar AS sejak tahun 2006 untuk mendorong angka kelahiran, tren ini belum juga membaik. Kondisi diperparah dengan populasi yang menua, di mana satu dari lima warga kini berusia 65 tahun ke atas.
Penelitian tersebut menelusuri kebijakan pajak Korea Selatan sejak beberapa dekade lalu, dan menunjukkan bahwa tekanan ekonomi akibat kebijakan fiskal kala itu masih terasa hingga sekarang.
Pada 1960-an hingga awal 1970-an, beban pajak di Korea tergolong ringan dan sebagian besar bergantung pada pendapatan dari sektor industri dan perdagangan. Namun, reformasi pajak besar-besaran yang terjadi antara 1974 dan 1976 mengubah struktur tersebut secara drastis. Pemerintah meningkatkan pajak langsung, termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pajak konsumsi, dari 10% menjadi 20%.
Kenaikan pajak ini turut menyebabkan penurunan pendapatan yang dapat dibelanjakan, serta diikuti oleh penurunan angka kelahiran secara signifikan.
Menurut Joan Madia, peneliti dari University of Oxford dan salah satu penulis studi, angka kesuburan di Korea turun dari sekitar 6 anak per perempuan pada 1950 menjadi kurang dari satu anak pada 2023. Ia mencatat bahwa tren penurunan ini sejalan dengan perubahan kebijakan pajak di negara tersebut.
Madia juga menyinggung reformasi pajak di pertengahan 1990-an yang menurunkan tarif pajak secara lebih merata. Hal ini mungkin menjadi alasan mengapa penurunan kesuburan pada periode itu tidak terlalu tajam.
Baca Juga: 5 Negara Dilanda Resesi Seks, Terbaru Tetangga Indonesia!
Studi ini turut mempertimbangkan faktor lain yang memengaruhi keputusan untuk memiliki anak, seperti meningkatnya partisipasi perempuan dalam dunia kerja, tingginya tingkat pendidikan perempuan, serta penggunaan kontrasepsi.
Madia menyatakan bahwa temuan ini memperlihatkan bagaimana kebijakan pajak dapat memengaruhi arah demografi suatu negara. Pajak yang membebani keluarga dan mengurangi kemampuan finansial untuk membesarkan anak dapat memicu penurunan tingkat kelahiran.
Francesco Moscone, profesor ekonomi bisnis di Brunel University London dan salah satu penulis lainnya, menilai bahwa peran pajak terhadap kesuburan kerap diabaikan.
“Pajak tak hanya berdampak pada kondisi finansial, tapi juga memengaruhi keputusan jangka panjang, termasuk soal rencana memiliki anak,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa semakin tinggi beban pajak, semakin besar pula biaya membesarkan anak, yang akhirnya membuat banyak pasangan ragu untuk memiliki keturunan.
Moscone pun menyarankan agar pembuat kebijakan menerapkan sistem perpajakan yang lebih bersahabat bagi keluarga, seperti memberikan kredit pajak anak, sebagai upaya mendorong masyarakat untuk membangun dan memperluas keluarga.
Sebagai salah satu langkah terbaru, pemerintah Korea Selatan memperkenalkan kredit pajak pernikahan sebesar 1 juta won (sekitar 690 dolar AS) bagi pasangan yang menikah sebelum 2026, di samping peningkatan insentif pajak untuk setiap anak yang dimiliki.
Meski demikian, efektivitas kebijakan insentif ini masih menjadi tanda tanya, mengingat generasi muda Korea kini menghadapi tantangan besar seperti mahalnya biaya perumahan dan pergeseran nilai yang lebih memprioritaskan karier dan kebahagiaan pribadi dibanding peran tradisional dalam keluarga.