Ntvnews.id, Kudus - Pemerintah Kabupaten Kudus, Jawa Tengah masih mengkaji secara seksama rencana penerapan regulasi terkait Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Sebagai salah satu pusat industri hasil tembakau (IHT) terbesar di Indonesia, Kudus menghadapi tantangan dalam merumuskan kebijakan yang dapat menjaga keseimbangan antara komitmen terhadap isu kesehatan dan kepentingan ekonomi masyarakat yang menggantungkan hidup dari sektor ini.
Bupati Kudus, Sam’ani Intakoris menegaskan bahwa hingga saat ini, belum ada peraturan daerah terkait KTR yang diberlakukan di wilayahnya. Ia menilai bahwa karakteristik Kudus sebagai pusat industri rokok terbesar di Jawa Tengah harus menjadi pertimbangan utama dalam menyusun regulasi yang dapat berdampak signifikan terhadap roda ekonomi lokal.
“Intinya memang belum ada Perda KTR di Kudus,” kata Sam’ani saat menghadiri peringatan HUT Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) yang digelar di lapangan Rendeng, Kudus, baru-baru ini.
Menurutnya, jika pada akhirnya peraturan tersebut akan diterapkan, maka penyusunannya perlu mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk sejarah dan kontribusi industri rokok terhadap perekonomian daerah. Sam’ani menyadari bahwa sektor ini menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, sehingga kebijakan yang akan diberlakukan harus disusun dengan penuh kehati-hatian agar tidak memicu dampak sosial yang merugikan.
Baca Juga: Pemprov DKI Gelar Kegiatan Seni hingga Car Free Night untuk Sambut HUT
Sementara itu, Ketua Umum FSP RTMM-SPSI, Sudarto AS, juga menyampaikan pandangannya terkait isu Perda KTR. Ia mengungkapkan bahwa pihaknya bukan menolak diaturnya konsumsi rokok, namun ia mengingatkan bahwa kebijakan yang terlalu membatasi justru dapat menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat dan pelaku industri.
“Soal Perda KTR, bukannya kami menolak diatur. Tapi aturan yang membatasi soal rokok itu justru membingungkan. Kalau diterapkan secara umum, sebenarnya rokok boleh dikonsumsi di mana?” ujar Sudarto.
Ia mencontohkan bahwa tempat-tempat seperti restoran dan tempat hiburan malam selama ini menjadi lokasi umum konsumsi rokok. Menurutnya, jika semua area ditetapkan sebagai kawasan tanpa rokok, maka akan berdampak besar bukan hanya kepada perokok, tapi juga kepada pelaku usaha dan para pekerja.
“Kalau di mana-mana sudah ada tempat tanpa rokok, ya bubar semua. Termasuk restorannya,” tegasnya.
Baca Juga: Viral Kupon Tebus Daging Kurban Rp15 Ribu, Ini Klarifikasi Panitia
Lebih jauh, Sudarto mengingatkan bahwa kebijakan KTR yang tidak dirancang dengan bijak bisa menimbulkan efek negatif terhadap perekonomian lokal. Penurunan konsumsi akibat larangan merokok dapat berdampak langsung pada produksi industri, yang kemudian mengancam keberlangsungan lapangan pekerjaan yang bergantung pada sektor tersebut.
Ia menekankan bahwa regulasi KTR tidak hanya menyangkut isu kesehatan, tetapi juga berkaitan erat dengan kelangsungan hidup dan penghidupan banyak orang.
Dalam hal ini, baik pemerintah daerah maupun perwakilan serikat pekerja sepakat bahwa penyusunan kebijakan terkait kawasan tanpa rokok harus mempertimbangkan keseimbangan antara perlindungan kesehatan masyarakat dan kenyataan sosial-ekonomi yang ada. Mengingat IHT merupakan sektor padat karya, setiap kebijakan yang menyasar sektor ini perlu disusun dengan pendekatan hati-hati agar tidak mengganggu stabilitas ekonomi masyarakat secara keseluruhan.