Ntvnews.id, Jakarta - Ketegangan geopolitik di Timur Tengah kembali memanas setelah Iran mempertimbangkan opsi menutup Selat Hormuz sebagai respons atas serangan udara Amerika Serikat ke tiga lokasi nuklir strategis di wilayahnya pada Sabtu, 21 Juni 2025.
Meski belum diresmikan oleh Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran, wacana ini telah mendapatkan dukungan parlemen dan mengguncang pasar global. Langkah tersebut memicu kekhawatiran serius terhadap rantai pasokan energi dunia, karena menjadi jalur pelayaran minyak dan gas paling krusial di dunia.
Selat Hormuz membentang antara Teluk Persia dan Teluk Oman. Di titik tersempitnya, lebarnya hanya 33 kilometer, dan jalur pelayaran efektifnya sempit, hanya dua mil untuk masing-masing arah kapal. Jalur ini dilewati oleh lebih dari 20 juta barel minyak setiap hari, setara dengan 20 persen konsumsi global.
Dampaknya bagi Indonesia
Bagi Indonesia, dampak penutupan Selat Hormuz akan terasa dalam bentuk lonjakan harga minyak dunia yang berujung pada kenaikan harga berbagai barang dan jasa. Kenaikan harga energi ini dipastikan memicu inflasi dan menggerus daya beli masyarakat.
“Penutupan Selat Hormuz jelas akan menjadi pukulan besar secara ekonomi karena efek langsungnya terhadap harga minyak dunia,” ujar Alex Younger, mantan Kepala Intelijen Inggris MI6, dalam wawancara dengan BBC.
Kondisi ini dikhawatirkan mendorong biaya logistik dan produksi industri di Indonesia. Subsidi energi pemerintah bisa membengkak, sementara harga kebutuhan pokok seperti BBM, gas, dan barang konsumsi lainnya akan naik.
Kondisi ini juga berisiko memperlambat laju pertumbuhan ekonomi nasional yang selama ini ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Jika daya beli menurun, maka target pertumbuhan ekonomi pemerintah pun dapat meleset.
Pasca-serangan AS ke Iran, harga minyak mentah Brent sempat menembus 80 dollar AS per barel (Rp1.318.800) angka tertinggi sejak Januari 2025. Menurut analis energi Rob Thummel, jika alur pelayaran terganggu, harga bisa melonjak hingga 100 dollar AS (Rp 1.648.500) per barel.