Ntvnews.id, Jakarta - R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, memandang bahwa dalam sistem hukum pidana modern, kekuatan negara bukan sekadar soal otoritas, melainkan soal kapasitas untuk melindungi warganya dari ancaman nyata yang kian kompleks. Di tengah pembahasan RKUHAP 2025 yang sedang berlangsung maraton di Komisi III DPR sejak awal Juli, Haidar Alwi justru mengambil posisi yang tenang dan berpijak pada logika strategis: perluasan wewenang Polri bukan ancaman terhadap demokrasi, melainkan syarat mutlak bagi negara hukum yang efektif dan tanggap terhadap zaman.
Alih-alih mencurigai setiap pasal sebagai potensi represi, Haidar Alwi mengajak publik untuk melihat dimensi yang lebih besar: bahwa aparat penegak hukum tidak bisa bertempur di medan modern hanya dengan alat hukum usang.
"Kejahatan siber, korupsi lintas batas, narkotika global, terorisme, hingga kekerasan seksual berbasis digital adalah wajah kejahatan kontemporer yang tak bisa ditangani dengan mekanisme KUHAP tahun 1981 yang sarat keterbatasan prosedural," ujarnya, Rabu, 23 Juli 2025.
Ia mengatakan, banyak pihak menyoroti pasal-pasal dalam RKUHAP 2025 yang memberi keleluasaan lebih bagi penyidik Polri dalam menyadap, melakukan operasi rahasia, atau menyita barang bukti dalam keadaan mendesak. Namun, bagi Haidar Alwi hal itu bukan penyimpangan, melainkan konsekuensi logis dari perubahan pola kejahatan.
"Negara tidak boleh kalah cepat dari pelaku kejahatan. Jika hukum terlalu kaku, aparat akan tertinggal dan kejahatan akan menang. Wewenang Polri yang diperluas dalam RKUHAP adalah bentuk adaptasi strategis terhadap lanskap kriminalitas yang berubah drastis," paparnya.
Dalam pandangan Haidar Alwi, penyadapan, penyamaran (undercover buy), dan surveillance bukanlah ancaman terhadap hak asasi manusia jika dilakukan dalam kerangka hukum, SOP internal yang transparan, serta akuntabilitas lembaga. Justru ketertinggalan instrumen hukum selama ini yang menyebabkan banyak kasus besar tak tersentuh, atau gagal dibongkar secara tuntas.
"Keleluasaan prosedural seperti dalam penahanan darurat atau penyitaan mendesak bukan berarti aparat kebal hukum, melainkan diberikan ruang manuver dalam batas rasional. Dengan teknologi digital, sistem audit elektronik, dan pengawasan internal yang aktif, hal ini justru bisa menjadikan Polri sebagai institusi yang presisi, cepat, dan akurat dalam menindak kejahatan," jelasnya.
Haidar Alwi menilai bahwa perluasan wewenang Polri dalam RKUHAP akan aman dan bermanfaat bila dijalankan oleh kepemimpinan yang memiliki komitmen kuat pada prinsip keadilan dan HAM. Dan sosok itu, menurutnya, ada pada Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo.
Ia menyatakan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo selama ini menunjukkan arah kebijakan yang tidak serampangan. Ia membangun Polri berbasis nilai-nilai Presisi: Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan. Maka ketika RKUHAP memberikan ruang hukum lebih luas bagi penyidik, Haidar Alwi percaya bahwa di tangan Kapolri saat ini, ruang itu tidak akan berubah menjadi penyimpangan, tapi menjadi peluang penguatan sistem hukum yang efektif.
"Kalau wewenang besar ada di tangan pemimpin yang bijak dan transparan, maka hasilnya adalah perlindungan maksimal bagi rakyat," kata Haidar Alwi.
Ia menambahkan, Indonesia membutuhkan sistem hukum acara yang realistis, bukan romantik. Rakyat kecil justru lebih dirugikan oleh proses hukum yang berlarut-larut, bukti yang hilang, atau pelaku kejahatan besar yang lolos karena kekakuan hukum formil. Di sinilah peran polisi modern diuji: bukan hanya cepat, tapi juga cermat dan adil.
Namun Haidar Alwi tidak serta merta menutup ruang kritik. Ia mengakui bahwa semua perluasan wewenang selalu berpotensi disalahgunakan jika tidak diiringi dengan pengawasan yang seimbang. Oleh karena itu, Haidar Alwi menyarankan agar pasal-pasal strategis dalam RKUHAP didampingi dengan standar operasional prosedur berbasis digital yang bisa diaudit publik dan dewan pengawas independen internal Polri dengan hak laporan langsung ke presiden.
Lalu, penguatan Kompolnas sebagai penyeimbang antara kepentingan negara dan hak warga.
Dengan langkah ini, Polri tidak hanya kuat dalam instrumen hukum, tetapi juga kuat secara moral. Haidar Alwi meyakini, negara kuat bukan negara yang lemah lembut kepada pelaku kejahatan, tapi negara yang mampu melindungi rakyat tanpa menyalahgunakan kekuasaan.
"RKUHAP adalah peluang emas untuk mereformasi sistem hukum acara kita agar lebih presisi. Ini bukan soal kuat atau lemah, tapi soal benar atau salah. Jika pengawasan diperbaiki, maka kewenangan Polri bukan ancaman, tapi jaminan keadilan," papar Haidar Alwi.
Ia menjelaskan, RKUHAP 2025 bukanlah momok jika kita melihatnya dalam kacamata rasional. Ia adalah respons terhadap kebutuhan zaman, di mana kejahatan tak lagi konvensional, dan hukum tidak bisa stagnan. Yang perlu dijaga adalah niat dan komitmen moral pelaksana hukum.
Dalam pandangan Haidar Alwi, Polri tidak boleh dibatasi oleh romantisme hukum masa lalu, tapi juga tidak boleh dibiarkan liar tanpa etika. Di sinilah pentingnya kepemimpinan seperti Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang membuktikan bahwa otoritas bisa selaras dengan keadilan.
"Kalau kita ingin rakyat kecil merasa dilindungi, bukan ditakuti, maka beri ruang gerak kepada penegak hukum, tapi jangan lepas dari mata nurani dan pengawasan publik," tandas Haidar Alwi.