Pakar soal Setya Novanto Bebas Bersyarat: Aturan Remisi di Era Prabowo Harusnya Dihidupkan Lagi

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 18 Agu 2025, 15:07
thumbnail-author
Irene Anggita
Penulis
thumbnail-author
Siti Ruqoyah
Editor
Bagikan
Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Hibnu Nugroho. Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Hibnu Nugroho. (ANTARA)

Ntvnews.id, Jakarta - Guru Besar Hukum dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Prof. Hibnu Nugroho, mengungkapkan keprihatinannya terhadap pemberian remisi kepada sejumlah narapidana korupsi (koruptor) pada peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia. Menurutnya, langkah tersebut tidak mendukung semangat pemberantasan korupsi di Tanah Air.

"Secara hukum, remisi adalah hak bagi narapidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemasyarakatan. Jadi tidak ada yang salah," ujarnya di Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Senin.

Namun demikian, ia menekankan bahwa apabila dikaitkan dengan upaya pemberantasan korupsi, kebijakan itu menjadi tidak tepat karena justru mengurangi efek jera bagi pelaku korupsi. Ia juga menyoroti kasus pembebasan bersyarat terhadap eks Ketua DPR RI, Setya Novanto, yang divonis bersalah dalam perkara korupsi pengadaan e-KTP.

Meskipun Setya Novanto tidak termasuk penerima remisi dalam peringatan HUT ke-80 RI, status bebas bersyarat yang ia peroleh pada 16 Agustus 2025 tetap berkaitan dengan remisi yang didapatkan dalam kesempatan-kesempatan sebelumnya, ditambah keputusan Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK).

Prof. Hibnu mengulas kembali regulasi pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat Kementerian Hukum dan HAM mengeluarkan PP Nomor 99 Tahun 2012, yang memperketat pemberian remisi kepada napi korupsi, narkotika, dan terorisme. Namun, situasi berubah saat pemerintahan Presiden Joko Widodo.

"Namun pada masa pemerintahan Presiden Jokowi (Joko Widodo), PP 99/2012 tersebut telah dicabut dan dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA), sehingga pemberian remisi ke koruptor, bandar narkoba, dan terorisme kembali sesuai PP 32/1999," jelasnya.

Dengan dicabutnya regulasi tersebut, kata dia, seluruh narapidana, termasuk yang terjerat kasus korupsi, kembali memiliki kesempatan penuh untuk mendapatkan remisi. Hal itu dinilainya kontraproduktif terhadap upaya pemberantasan korupsi karena mengurangi efek jera.

Ia menyoroti tidak konsistennya arah politik hukum di Indonesia yang kerap berubah, sehingga masyarakat pun dibuat bingung.

"Jika pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto benar-benar ingin serius memberantas korupsi, aturan pembatasan remisi tersebut sebaiknya dihidupkan kembali," tegas Prof. Hibnu.

Sebagai informasi tambahan, Mahkamah Agung pada Juni 2025 mengabulkan PK Setya Novanto dan memangkas hukumannya dari 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan penjara. Hak politiknya yang semula dicabut selama lima tahun juga dikurangi menjadi dua tahun enam bulan setelah ia selesai menjalani masa hukuman.

Setya Novanto mulai menjalani pidana sejak November 2017. Dengan perhitungan awal, ia seharusnya bebas sekitar 2030. Namun, karena beberapa kali memperoleh remisi khusus Idulfitri sejak 2023 hingga 2025, tanggal pembebasannya menjadi lebih cepat.

Akhirnya, pada 16 Agustus 2025, ia resmi keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, dalam status bebas bersyarat karena telah memenuhi syarat menjalani dua pertiga masa pidananya. Meski demikian, ia tetap berkewajiban menjalani pelaporan berkala hingga bebas murni sekitar tahun 2029, setelah sebelumnya melunasi denda dan uang pengganti sebagaimana putusan pengadilan.

Sumber: ANTARA

x|close