Pakar Bahas Tantangan dan Arah Kebijakan Industri Strategis Nasional

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 25 Sep 2025, 18:03
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Penulis & Editor
Bagikan
Ilustrasi industri/tenaga kerja. Ilustrasi industri/tenaga kerja. (Pixabay)

Ntvnews.id, Jakarta - Ancaman intervensi asing terhadap kedaulatan ekonomi Indonesia kembali menjadi sorotan. Sejumlah pakar dan tokoh pertahanan menilai ada strategi sistematis yang digunakan pihak asing untuk menekan industri strategis nasional, khususnya sektor tembakau dan kelapa sawit, melalui perang narasi serta infiltrasi kebijakan.

Wakil Menteri Pertahanan Republik Indonesia, Donny Ermawan, menegaskan bahwa bentuk ancaman saat ini tidak lagi hadir dalam wujud konvensional, melainkan lewat pendekatan modern yang dikenal dengan Narrative and Legal Warfare (NLW).

"Tujuan dari dua bentuk perang tersebut jelas, memengaruhi opini publik, memanipulasi persepsi, menciptakan polarisasi, hingga mencapai tujuan strategis tertentu yang merugikan kepentingan nasional," ujarnya dalam Dialog Publik bertema “Defence Intellectual Community: Memperkokoh Narasi dan Tatanan Negara untuk Kedaulatan dan Kesejahteraan Bangsa”, Rabu, 24 September 2025.

Menurut Donny, sektor perkebunan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 merupakan salah satu target utama intervensi. Industri ini, katanya, sangat penting karena tidak hanya menjadi penopang pendapatan negara, tetapi juga membuka lapangan kerja bagi jutaan orang. Komoditas strategis yang termasuk di dalamnya antara lain kelapa sawit, tembakau, karet, kopi, kakao, tebu, dan hasil perkebunan lainnya.

Baca Juga: Menekraf Siap Kolaborasi dengan Nusantara TV Dukung Industri Ekonomi Kreatif Indonesia

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Dr. Satya Arinanto, turut mengkritisi peran sebagian Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang dianggap sering dijadikan alat intervensi asing.

"Saya pernah memposisikan bahwa LSM itu bisa menjadi pilar demokrasi. Tapi LSM yang saya inginkan itu adalah LSM yang mandiri," ujar Satya dalam keterangannya, Kamis, 25 September 2025.

Ia menyesalkan banyaknya LSM yang tidak independen karena dipengaruhi pendanaan dan agenda luar negeri, sehingga acapkali berseberangan dengan kepentingan nasional.

Pandangan senada disampaikan Guru Besar FHUI, Prof. Hikmahanto Juwana. Menurutnya, proksi asing bahkan dapat menyusup ke dalam lembaga pemerintahan untuk menekan industri strategis nasional. Ia mencontohkan kasus pelemahan industri tembakau yang disebut-sebut terjadi melalui perjanjian internasional maupun kampanye negatif, termasuk masuknya agenda Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dalam kebijakan Kementerian Kesehatan.

"Mereka menggunakan proksi. Proksinya siapa? Kementerian kita sendiri," tegas Hikmahanto. Ia menekankan, industri tembakau dan kelapa sawit sangat penting karena menyerap banyak tenaga kerja sekaligus menyumbang signifikan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Baca Juga: VIDEO: Kawanan Begal Beraksi di Kawasan Industri Pulogadung Jaktim

Wakil Ketua Komisi I DPR RI sekaligus Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Pertahanan RI, Dr. Dave Laksono, menggarisbawahi bahwa perang narasi kerap dimainkan melalui kanal komunikasi modern. Menurutnya, isu-isu global sengaja dipelintir untuk melemahkan posisi Indonesia. "Narasi negatif seringkali diciptakan untuk memecah belah. Kekuatan media dan narasi ini digunakan untuk menyerang lawan-lawan, baik di tingkat domestik maupun global," jelasnya.

Sementara itu, Guru Besar IPB University, Prof. Bungaran Saragih, mengingatkan ancaman serius terhadap keberlanjutan sektor pertanian dari hulu hingga hilir. Ia menekankan bahwa agribisnis merupakan satu kesatuan ekosistem yang tidak boleh dilemahkan.

"Tanpa ketahanan pangan, kita tidak punya kedaulatan. Kalau kita tidak mau berdaulat, maka 5–10 tahun yang akan datang, sistem pertahanan kita harus diubah," imbuhnya.

Bungaran menambahkan, tanpa perlindungan yang kuat terhadap sektor hilir seperti tembakau dan kelapa sawit, Indonesia berisiko menghadapi deindustrialisasi serta pertumbuhan ekonomi yang terjebak di kisaran 5%. Angka itu jauh di bawah target pemerintah yang ingin mencapai 8%.

x|close