Ntvnews.id, Jakarta - Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi, menilai pernyataan purnawirawan TNI Sri Radjasa Chandra tentang adanya agenda tersembunyi di balik pertemuan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) dan Presiden Prabowo Subianto pada 4 Oktober 2025, merupakan spekulasi.
Selain tak berdasar, hal itu menurutnya berpotensi menimbulkan distorsi persepsi publik terhadap dinamika kenegaraan yang seharusnya dijaga marwah dan rasionalitasnya.
"Menyebut bahwa Jokowi meminta Prabowo untuk mempertahankan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo demi 'mengamankan pintu terakhir' di tengah berbagai kasus yang dihadapinya adalah tuduhan yang tidak memiliki dasar fakta, lebih menyerupai narasi insinuatif yang mengaburkan logika politik dan hukum negara," ujar Haidar Alwi, Minggu, 12 Oktober 2025.
Menurutnya, dalam negara demokrasi yang berlandaskan konstitusi, penunjukan dan pemberhentian Kapolri bukan produk barter politik, tetapi mekanisme formal yang melewati pertimbangan institusional dan etika pemerintahan.
"Pernyataan seperti itu justru mengandung risiko serius terhadap stabilitas opini publik. Ia menggeser ruang dialog publik dari argumentasi objektif menuju rumor politis yang menstigmatisasi lembaga negara, terutama Polri, seolah-olah alat politik personal," tutur Haidar Alwi.
Padahal, lanjutnya, di bawah kepemimpinan Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Polri sedang berupaya keras menjalankan transformasi kelembagaan, menegakkan keadilan restoratif, dan memulihkan kepercayaan publik melalui langkah-langkah profesional dan humanis.
Menyandarkan opini publik pada spekulasi tanpa bukti, menurutnya hanya memperlemah legitimasi institusi yang tengah berjuang memperbaiki diri.
"Para purnawirawan TNI semestinya menjadi panutan dalam menjaga etika berwacana dan kedewasaan politik di ruang publik. Reputasi mereka dibangun dari disiplin militer dan semangat pengabdian pada negara, bukan pada penggiringan opini yang bersifat destruktif," jelas Haidar Alwi.
Atas itu, kata dia, sudah selayaknya tokoh-tokoh seperti Sri Radjasa Chandra, Soenarko, Soleman Ponto, dan Saurip Kadi lebih arif dalam menilai dan menyampaikan pandangan yang menyentuh lembaga-lembaga strategis negara seperti Polri.
Kritik konstruktif tentu dibutuhkan, tetapi harus berbasis data, disampaikan dengan bahasa yang membangun, bukan dengan insinuasi yang memperuncing persepsi publik.
Kehati-hatian ini penting agar publik tidak membaca adanya agenda terselubung di balik serangkaian pernyataan yang bernada sinis terhadap Kapolri maupun institusi Polri.
Bila pola ini terus berulang, bisa muncul kesan bahwa sebagian purnawirawan TNI sengaja digunakan atau dibiarkan menjadi corong untuk melemahkan citra Polri dan pribadi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
"Situasi semacam itu bukan hanya merugikan Polri, tetapi juga merusak harmoni dan soliditas antar-institusi pertahanan dan keamanan negara (TNI-Polri)," jelas Haidar Alwi.
Ia menjelaskan, dalam konteks relasi sipil-militer modern, tanggung jawab moral para purnawirawan TNI bukan lagi berada pada medan tempur, tetapi pada ruang moral kebangsaan: menjaga agar opini publik tidak disesaki prasangka, menjaga agar negara tetap berdaulat atas kebenaran, bukan atas rumor.
"Maka, kebijaksanaan dalam berbicara tentang institusi negara adalah bentuk tertinggi dari patriotisme," tandas Haidar Alwi.