Dunia Penyiaran Berubah, DPR Nilai Regulasi Harus Diperbarui

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 24 Okt 2025, 22:08
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Penulis & Editor
Bagikan
Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Sukamta. Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Sukamta. (Istimewa)

Ntvnews.id, Jakarta - Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Sukamta, menilai Undang-Undang Penyiaran yang berlaku di Indonesia saat ini sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Menurutnya, pola penyiaran telah berubah secara fundamental, tidak lagi terbatas pada siaran konvensional seperti televisi dan radio yang menggunakan frekuensi publik.

"UU Penyiaran itu tahun 2002, aturannya soal tv dan radio yang bersiaran free to air. Sekarang bentuknya sudah streaming, ini yang mau disesuaikan pengaturannya," ujar Sukamta saat menjadi narasumber dalam kegiatan Bimbingan Teknis P3SPS KPI di Universitas Budi Luhur, Kamis, 23 Oktober 2025.

Ia menjelaskan bahwa tantangan terbesar dalam memperbarui regulasi penyiaran justru terletak pada kompleksitas dunia digital yang sulit diatur, baik dari sisi teknis maupun penerimaan publik.

"Dunia digital kita sudah lama tidak ada aturan, begitu akan diatur, sedikit saja, maka kemudian publik bereaksi," ungkapnya.

Meski demikian, Sukamta menegaskan bahwa pengaturan penyiaran, baik konvensional maupun digital, merupakan hal yang lazim dilakukan di berbagai negara. Hanya Indonesia, katanya, yang belum memiliki regulasi komprehensif untuk ranah digital.

"Semua negara mengatur baik penyiaran tradisional, free to air maupun melalui digital," tegasnya.

Pernyataan Sukamta sejalan dengan pandangan Komisioner KPI Pusat sekaligus Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran, Tulus Santoso. Ia menjelaskan bahwa negara-negara di Eropa telah memiliki aturan yang jelas terkait pengawasan konten audio dan audiovisual di platform digital.

"Platform digital yang menyajikan layanan audio maupun audio visual itu di luar negeri, di negara yang sudah memiliki aturan, mereka tunduk," jelas Tulus.

Menurutnya, penyusunan regulasi baru di Indonesia sebaiknya berorientasi pada perlindungan kepentingan nasional, termasuk perlindungan terhadap masyarakat serta keberlanjutan industri kreatif dalam negeri.

"Jika kita bandingkan dengan Eropa, di sana ada kontribusi platform kepada negara, kontribusi untuk industri kreatif dalam negeri, kontribusi untuk melindungi masyarakat dari konten negatif. Ini yang belum ada di negara kita," ujarnya.

x|close