Ntvnews.id, Jakarta - Mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) periode 2011–2016, Nurhadi, resmi didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp137,16 miliar. Dakwaan itu berkaitan dengan dugaan penerimaan gratifikasi di lingkungan peradilan pada 2013–2019 serta tindak pidana pencucian uang (TPPU) pada 2012–2018.
Jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rony Yusuf, mengungkapkan bahwa gratifikasi tersebut berasal dari pihak-pihak yang berperkara di berbagai tingkat pengadilan, mulai dari pengadilan negeri hingga peninjauan kembali. Penerimaan itu terjadi saat Nurhadi masih menjabat maupun setelah tidak lagi menjadi Sekretaris MA.
“Gratifikasi diterima secara bertahap dengan menggunakan rekening orang lain,” ujar JPU saat membacakan dakwaan dalam sidang di Pengadilan Tipikor, PN Jakarta Pusat, Selasa, 18 November 2025.
Selain dakwaan gratifikasi, Nurhadi juga didakwa melakukan TPPU dengan nilai total Rp308,1 miliar. Jumlah itu terdiri dari Rp307,26 miliar serta 50 ribu dolar AS, setara Rp835 juta dengan kurs Rp16.700 per dolar AS.
Baca Juga: PN Jakarta Pusat Resmi Terima Berkas Kasus Pencucian Uang Eks Sekretaris MA Nurhadi
Atas tindakan tersebut, Nurhadi dijerat Pasal 12B jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU jo. Pasal 65 ayat (1) ke-1 KUHP.
JPU menjelaskan bahwa sebagian besar dana gratifikasi itu masuk melalui rekening atas nama Rezky Herbiyono, menantu sekaligus orang kepercayaan Nurhadi. Selain Rezky, digunakan juga sejumlah nama lain sesuai instruksi Nurhadi maupun Rezky, antara lain Calvin Pratama, Soepriyo Waskita Adi, dan Yoga Dwi Hartiar.
Dalam rincian dakwaan, Nurhadi disebut menerima dana dari sejumlah pihak seperti pemilik PT Sukses Abadi Bersama Hindria Kusuma; Komisaris PT Matahari Kahuripan Indonesia (alm.) Bambang Harto Tjahjono; serta PY Sukses Abadi Bersama senilai Rp11,03 miliar pada 22 Juli 2013–24 November 2014. Dana itu terkait perkara perdata di PN Jakarta Utara dan PN Jakarta Pusat.
Ia juga diduga menerima Rp12,79 miliar dari Dion Hardie, pengurus PT Sukses Expamet, terkait perkara pajak di PN Jakarta Pusat. Pada 18 April 2016, Nurhadi kembali menerima Rp2 miliar dari PT Freight Express Indonesia terkait perkara perdata di PN Samarinda.
Baca Juga: KPK Periksa Dirjen Kemenhut dan Direktur ESDM sebagai Saksi Kasus Gratifikasi
Tidak hanya rupiah, JPU membeberkan penerimaan dalam bentuk valuta asing. Pada 2013–2014, uang asing yang dititipkan melalui Royani, sopir Nurhadi, ditukar menjadi Rp12,41 miliar. Pada 2015, Rezky menukarkan 358 ribu dolar Singapura menjadi Rp3,48 miliar. Dari 2015–2019, Rezky dan Yoga menukar uang asing lain dengan nilai total Rp87,68 miliar.
Pada 2016, Nurhadi melalui Rezky juga menerima 520 ribu dolar AS dan 9.700 dolar Singapura, yang ditukar Soepriyo menjadi Rp7,76 miliar.
“Terhadap penerimaan gratifikasi berupa sejumlah uang tersebut di atas, Nurhadi tidak melaporkannya kepada KPK dalam tenggang waktu 30 hari sebagaimana ditentukan undang-undang, padahal penerimaan itu tanpa alas hak yang sah menurut hukum,” kata JPU.
Majelis Hakim Tipikor sebelumnya menjatuhkan vonis enam tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kepada Nurhadi pada 10 Maret 2021. Ia terbukti menerima suap Rp35,73 miliar serta gratifikasi Rp13,79 miliar. Nurhadi dieksekusi ke Lapas Sukamiskin pada Januari 2022, namun KPK kembali menahannya pada 29 Juni 2025 setelah ia bebas bersyarat.
(Sumber: Antara)
Sekretaris Mahkamah Agung (MA) periode 2011-2016 Nurhadi dalam sidang pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Selasa, 18 November 2025. (ANTARA/Agatha Olivia Victoria) (Antara)