A PHP Error was encountered

Severity: Warning

Message: Invalid argument supplied for foreach()

Filename: libraries/General.php

Line Number: 87

Backtrace:

File: /www/ntvweb/application/libraries/General.php
Line: 87
Function: _error_handler

File: /www/ntvweb/application/controllers/Read.php
Line: 64
Function: popular

File: /www/ntvweb/index.php
Line: 326
Function: require_once

Legalitas SK Ketua MK Disorot, Berpotensi Krisis Konstitusi - Ntvnews.id

Legalitas SK Ketua MK Disorot, Berpotensi Krisis Konstitusi

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 15 Des 2025, 22:33
thumbnail-author
Moh. Rizky
Penulis
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Editor
Bagikan
Gedung MK. (Antara) Gedung MK. (Antara)

Ntvnews.id, Jakarta - Pelaksanaan putusan pengadilan yang tidak patuh dan tidak substantif, dinilai berpotensi menjerumuskan Indonesia ke dalam krisis konstitusi dan krisis legitimasi lembaga negara. Ini termasuk apabila dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK).

Hal ini dinyatakan Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), dalam Forum Guntur PB HMI bertajuk “The Guardian of The Constitution: Eksaminasi Surat Keputusan Pengangkatan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”, yang digelar di Jakarta Selatan, Senin, 15 Desember 2025.

Forum ini secara khusus membedah Putusan PTUN Jakarta Nomor 604/G/2023/PTUN.JKT yang membatalkan Surat Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 17 Tahun 2023 tentang pengangkatan Ketua MK, serta polemik lanjutan terkait tata kelola kepemimpinan Mahkamah Konstitusi.

Diskusi menghadirkan sejumlah narasumber, yakni Ketua BPN Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani, Pakar hukum tata negara Muhammad Rullyandi, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Esa Unggul Juanda dan Ketua Bidang Hukum, Pertahanan, dan Keamanan PB HMI Rifyan Ridwan Saleh.

Menurut Rifyan, forum ini diselenggarakan sebagai bagian dari tanggung jawab moral organisasi mahasiswa untuk menjaga prinsip negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

“Putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap adalah perintah hukum, bukan formalitas administratif. Ketika lembaga negara tidak melaksanakan putusan pengadilan secara patuh dan substantif, maka kepastian hukum dan wibawa konstitusi sedang dipertaruhkan,” ujarnya.

Menurut PB HMI, penerbitan keputusan baru yang secara substansi menimbulkan akibat hukum yang sama dengan keputusan yang telah dibatalkan pengadilan berpotensi melanggar asas restitutio in integrum, serta dapat dikualifikasikan sebagai ultra vires (melampaui kewenangan) dan detournement de pouvoir (penyalahgunaan tujuan kewenangan).

“Jika praktik ini dibiarkan, maka akan lahir preseden berbahaya. Putusan pengadilan bisa dianggap dapat disiasati, dan itu bertentangan langsung dengan prinsip supremasi hukum,” jelas Rifyan.

PB HMI menilai, polemik ini tidak bisa dilihat sebagai persoalan internal lembaga semata, melainkan menyangkut arsitektur ketatanegaraan Indonesia. Ketidakpatuhan terhadap putusan PTUN dinilai berisiko menimbulkan erosi supremasi hukum, karena putusan pengadilan kehilangan daya ikat; krisis legitimasi Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi; preseden buruk bagi lembaga negara lain dan masyarakat untuk mengabaikan hukum; dan Instabilitas ketatanegaraan, akibat konflik kewenangan dan menurunnya kepercayaan publik.

Pandangan tersebut juga disoroti oleh para narasumber yang menekankan pentingnya menjaga pemisahan tegas antara kewenangan etik dan kewenangan administratif-konstitusional, serta memastikan setiap pengangkatan pimpinan MK dapat ditelusuri legitimasi konstitusionalnya.

Sebagai hasil forum dan kajian kebijakan, PB HMI menyampaikan rekomendasi, yakni agar MK melaksanakan putusan PTUN Jakarta Nomor 604/G/2023/PTUN.JKT secara patuh dan sesuai amar putusan dan menjamin bahwa setiap pengangkatan pimpinan MK dilakukan sesuai UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan.

MK diminta mematuhi putusan PTUN. MK diminta mematuhi putusan PTUN.

Sementara untuk, DPR RI, agar melakukan pengawasan konstitusional terhadap tata kelola MK, serta mendorong penyempurnaan regulasi terkait mekanisme eksekusi putusan PTUN terhadap lembaga yudikatif.

Kemudian untuk Presiden RI, diminta mengambil sikap tegas untuk menjaga harmonisasi antar-lembaga negara dan kepastian hukum, serta mempertimbangkan langkah konstitusional, termasuk penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), apabila ketidakpastian hukum dan krisis legitimasi Mahkamah Konstitusi terus berlanjut.

PB HMI, kata dia menegaskan komitmennya untuk terus berada di garis depan dalam menjaga konstitusi dan demokrasi Indonesia melalui jalur intelektual, advokasi, dan kritik konstruktif.

“Menjaga konstitusi bukan pilihan, melainkan kewajiban. Jika putusan pengadilan tidak ditaati, maka yang terancam bukan hanya satu lembaga, tetapi masa depan negara hukum Indonesia,” tandas Rifyan.

x|close