"Mereka kemudian ambil pemain-pemain asing di Jepang untuk kemudian dijadikan warga negara sebagai ikon untuk kemudian anak-anak muda Jepang mengidolakan mereka. Dan ingin bercita-cita seperti mereka. Ada salah satunya adalah Gui Ramos kemudian juga Wagner Lopez yang sekarang jadi pelatih PSS Sleman yang kemudian diistirahatkan atau dipecat. Itu pemain-pemain pertama yang dinaturalisasi oleh Jepang dan kemudian mengantarkan Jepang lolos pertama kali ke Piala Dunia 1998," tambahnya.
Tak berhenti sampai di situ, sambung Akmal, Jepang kemudian terus membangun sepak bola usia mudanya lewat kampus-kampus, lewat sekolah-sekolah dasar, di kampung-kampung dan sebagainya dengan infrastruktur yang jelas.
"Akhirnya kemudian muncul Hidetoshi Nakata. Dari Nakata inilah kemudian program-program Jepang akhirnya melahirkan sekarang banyak pemain-pemain Jepang di mana-mana. Ada Mitoma, Kubo dan sebagainya. Sekarang mayoritas pemain Jepang menjadi lirikan klub-klub di Eropa," ujarnya.
Akmal menyatakan seharusnya Indonesia meniru apa yang dilakukan Jepang. Agar pembinaan sepak bola di Indonesia memiliki pondasi yang kuat.
"Kenapa? Karena usia pemain bola itu terbatas. Kedua umur pelatih juga terbatas. Tidak selamanya Shin Tae yong melatih Tim Nasional Indonesia. Misal sewaktu-waktu ada kegagagalan yang terjadi dan Shin Tae yong misalnya dipecat. Maka akan ada perubahan paradigma dari pelatih baru," ucapnya.
Sebagai contoh, lanjut Akmal, ketika eranya Luis Mila menjadi pilihan Alberto Goncalves, Stefano Lilipaly. Tapi ketika eranya Shin Tae yong Lilipaly tidak dipakai sama sekali.
"Nah bisa jadi 15 pemain keturunan saat ini kalau misalnya pelatihnya berubah bisa jadi separuhnya tidak dipakai," tandasnya.