Matel yang Tewas di Kalibata Ternyata Pegawai SPBU

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 16 Des 2025, 10:00
thumbnail-author
Moh. Rizky
Penulis
thumbnail-author
Dedi
Editor
Bagikan
Dua debt collector yang tewas dikeroyok enam polisi di Kalibata. Dua debt collector yang tewas dikeroyok enam polisi di Kalibata. (Instagram)

Ntvnews.id, Jakarta - Sosok debt collector atau mata elang (matel) yang tewas dikeroyok polisi di Kalibata, Jakarta Selatan diungkap oleh pihak keluarga korban. Menurut pengacara salah satu keluarga korban, Wilvridus Watu, profesi debt collector atau matel dari korban hanyalah sampingan.

Salah seorang matel yang meninggal dunia, yakni MET, merupakan petugas dari Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Jakarta Selatan. 

"Bahwa almarhum MET diketahui memiliki pekerjaan tetap sebagai petugas SPBU di wilayah Tanjung Barat," ujar Wilvridus, Selasa, 16 Desember 2025.

Saat kejadian, MET tengah libur dari kerjanya di SPBU. Ia memang sengaja mencari tambahan penghasilan dengan menjadi debt collector atau mata elang.

"Dan pada hari liburnya membantu rekan dengan bekerja sebagai jasa penagih profesional, sebuah profesi yang sah dan diakui dalam sistem pembiayaan nasional," kata Wilvridus.

Baik MET mau NAT, merupakan perantau di Jakarta. Mereka berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Keduanya bekerja menjadi debt collector atau mata elang, guna menghidupi keluarganya masing-masing. 

Baca Juga: Polisi Temukan Bakteri Berbahaya di Pakaian Bekas Impor Ilegal Jaringan Korsel

"Bahwa kedua almarhum merupakan perantau asal Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang datang ke Jakarta dengan tujuan bekerja secara halal demi menghidupi diri dan keluarganya," jelasnya.

Adapun keduanya bisa menjadi penagih utang, setelah dikontrak oleh perusahaan resmi.

"Bahwa para korban menjalankan tugas berdasarkan hubungan kerja yang sah dengan PT Devana, yang memiliki perjanjian kerja sama (MoU) dengan pihak kreditur/leasing," jelasnya.

Sebelumnya, pihak debt collector atau mata elang (matel) yang tewas dikeroyok polisi di Kalibata, Jakarta Selatan angkat bicara. Mereka menginformasikan kronologi lengkap peristiwa itu, dari versi pihak matel.

Kronologi ini lebih lengkap dan sedikit berbeda dengan apa yang disampaikan kepolisian.

Menurut pengacara salah satu keluarga korban, Wilvridus Watu, persoalan bermula saat empat matel, yang di antaranya MET dan NAT, hendak menarik sepeda motor yang dikendarai polisi yang juga pelaku pengeroyokan, Bripda AM.

Baca Juga: Bulan Bakti Demokrat 2025 Digelar, Teguhkan Kepedulian dan Peran Sosial

Motor itu hendak ditarik, karena menunggak pembayaran cicilan kredit nyaris setengah tahun. Selama enam bulan, baru satu kali cicilan dibayarkan yakni pada Juli 2025.

"Bahwa pada 11 Desember 2025, kedua almarhum bersama dua rekannya melakukan penelusuran alamat debitur sesuai prosedur penagihan, tanpa membawa senjata, tanpa ancaman, dan tanpa tindakan kekerasan," ujar Wilvridus, Senin, 15 Desember 2025.

Hingga akhirnya keempat matel melihat motor tersebut di traffic light sekitar Kalibata. Mereka lalu mengikuti motor yang dikendarai oleh Bripda AM.

"Bahwa saat berhenti di lampu merah Kalibata, para korban melihat kendaraan objek pembiayaan tersebut dan mengikutinya secara terbuka dan tidak agresif, semata-mata untuk memastikan keberadaannya ojek kendaraannya," tuturnya.

Laju motor kedua pihak pun terhenti di seberang Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan. Kemudian, para matel memberikan penjelasan kepada polisi muda itu. Penyampaian tersebut, kata Wilvridus, dilakukan secara sopan.

Baca Juga: Bayi 6 Bulan Meninggal di Tangsel, Ayah Kandung Diduga Lakukan Penganiayaan

"Bahwa di sekitar area Taman Makam Pahlawan Kalibata, para korban menyampaikan maksudnya secara sopan dan persuasif, dengan memperkenalkan diri sebagai pihak yang bekerja untuk leasing," jelasnya.

Bripda AM sempat menyatakan bahwa motor milik ibunya. Namun, ia tak mampu menunjukkan bukti kepemilikan yang sah.

Diketahui, berdasarkan perjanjian yang dibuat dengan pihak leasing dengan debitur atau pengutang, nama yang tertera ialah seorang perempuan yakni Sry Wahyuni.

"⁠Bahwa pengendara kendaraan menyatakan kendaraan tersebut milik ibunya, tanpa dapat menunjukkan bukti kepemilikan yang sah," jelasnya.

Tak terima motornya mau ditarik, Bripda AM lalu menghubungi rekan-rekannya sesama polisi.

"Yang selanjutnya datang ke lokasi menggunakan mobil dan sepeda motor," ucap Wilvridus.

Para polisi yang dengan sengaja menyamarkan identitasnya, lalu turun dari kendaraan dan melakukan penganiayaan terhadap korban.

"Beberapa orang dari kelompok tersebut turun dari mobil dengan mengenakan helm dan masker penutup wajah, lalu mengambil kunci sepeda motor korban serta melakukan pemukulan terhadap korban, sehingga situasi di lokasi kejadian berubah menjadi tidak kondusif," jelasnya.

Meski begitu, tak semua kunci motor matel berhasil diambil para polisi. Motor yang kuncinya tak diambil, lantas digunakan dua matel lainnya untuk melarikan diri.

"Atas peristiwa tersebut, dua rekan korban yang kunci kendaraannya belum diambil oleh para pelaku berusaha untuk menyelamatkan diri dengan menggunakan sepeda motornya dan saat ini menjadi saksi kunci dalam perkara ini," jelas Wilvridus.

Satu orang matel tewas di lokasi, sementara seorang lainnya meninggal dunia usai dirawat di rumah sakit.

Polda Metro Jaya telah menangkap keenam polisi yang bertugas di Pelayanan Markas (Yanma) Mabes Polri tersebut. Mereka antara lain Brigadir IAM, Bripda JLA, Bripda RGW, Bripda IAB, Bripda DN, dan Bripda AM.

Keenam polisi kini telah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka dijerat Pasal 170 ayat 3 KUHP tentang pengeroyokan yang menyebabkan korban meninggal dunia.

Selain itu, mereka juga terancam sanksi etik yakni dipecat dari Polri. Sidang etik terhadap para tersangka akan segera digelar Polri.

x|close