Ntvnews.id, Jakarta - Kebijakan pendidikan tinggi nasional kembali menjadi sorotan, khususnya terkait ketimpangan perlakuan antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) dalam hal pendanaan negara dan penerimaan mahasiswa baru.
Isu tersebut mencuat seiring pernyataan Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Wamendiktisaintek) Stella Christie yang menanggapi kritik publik mengenai PTN yang dinilai membuka kuota mahasiswa baru terlalu besar. Menurut Stella, persoalan kuota tidak seharusnya menjadi fokus utama.
“Yang kita pikirkan bukan kuota, tapi apa kita memberikan peluang yang paling banyak dan paling bagus untuk semua masyarakat Indonesia, mahasiswa kita untuk belajar," tutur Stella kepada wartawan usai acara 2025 International Symposium on ECD di Thamrin Nine, Jakarta Pusat, Rabu, 17 Desember 2025.
Namun, pandangan tersebut menuai kritik karena dinilai tidak mencerminkan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan realitas sistem pendidikan tinggi di lapangan. Kritik juga diarahkan pada kinerja PTN yang dinilai belum mampu menembus jajaran kampus elite Asia maupun global, meski telah mendapat dukungan anggaran negara selama lebih dari setengah abad.
Baca Juga: Perundungan di Era Digital: Sebuah Perspektif terhadap Reputasi Institusi Pendidikan
PTN disebut memperoleh pembiayaan besar dari negara melalui pajak rakyat, mencakup pembangunan infrastruktur, gaji dosen, laboratorium, hingga operasional kampus. Di sisi lain, PTN juga dinilai leluasa menarik dana dari masyarakat dengan menerima mahasiswa dalam jumlah besar, meskipun telah memperoleh subsidi negara yang signifikan.
Kondisi tersebut dinilai berdampak langsung pada PTS yang selama ini berperan aktif dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Disebutkan bahwa masyarakat bahkan telah menopang hingga sekitar 70 persen anggaran PTN, sehingga birokrasi PTN dinilai semakin besar dan tidak efisien, sekaligus menciptakan persaingan tidak seimbang dengan PTS.
Akibat kebijakan tersebut, banyak PTS disebut mengalami tekanan berat hingga terancam tutup. Peran organisasi kemasyarakatan besar seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, serta berbagai yayasan pendidikan di daerah dinilai ikut tergerus oleh sistem persaingan pendidikan tinggi yang tidak adil.
Untuk menciptakan keadilan, muncul usulan agar anggaran negara yang selama ini dialokasikan ke PTN dipotong sebesar 50 persen dan selanjutnya dibagikan secara proporsional kepada PTS. Dengan skema tersebut, PTN dan PTS sama-sama memperoleh sumber pendanaan dari negara dan masyarakat.
Baca Juga: Kesejahteraan Guru dan Dosen Jadi Fondasi Mutu Pendidikan
Selain itu, negara diminta menghentikan praktik diskriminasi dalam kebijakan pendidikan tinggi dan menerapkan asas kesamaan atau equality. Salah satu opsi yang diusulkan adalah pengambilan keputusan melalui APBN Perubahan pada pertengahan tahun 2026.
Apabila pembagian anggaran negara dinilai tidak memungkinkan, PTN diusulkan membatasi penerimaan mahasiswa yang dibiayai negara serta menerapkan skema subsidi silang (cross subsidy), yakni mahasiswa dari golongan mampu membantu pembiayaan mahasiswa dari keluarga kurang mampu.
Ke depan, negara diharapkan bersikap adil dalam pengelolaan anggaran pendidikan tinggi serta mengakui peran PTS yang selama ini berkontribusi besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ilustrasi Mahasiswa Baru (FreePik)