Ntvnews.id, Jakarta - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyuarakan kekhawatiran terhadap dampak negatif yang mungkin timbul dari diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan, terutama bagi industri padat karya, seperti sektor hasil tembakau serta makanan dan minuman.
Pelaku usaha menilai aturan ini justru menambah tekanan di tengah upaya pemulihan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Bob Azam, menegaskan pentingnya langkah konkret dari pemerintah dalam bentuk deregulasi guna menyelamatkan sektor-sektor yang menyerap banyak tenaga kerja.
Ia menilai kebijakan yang terlalu ketat bisa berbalik merugikan ketika dunia usaha tengah menghadapi tantangan berat.
Baca Juga: Buka Pendaftaran Ketum, PSI Doakan Jokowi Mendaftar
“Industri tembakau dan makanan minuman termasuk sektor padat karya yang banyak menyerap tenaga kerja. Kita minta ada deregulasi, bukan malah meregulasi, karena kita menghadapi kelemahan ekonomi dan banyak tenaga kerja yang di-PHK,” ujar Bob dalam keterangannya, Selasa, 13 Mei 2025.
Menurut Bob, relaksasi kebijakan seharusnya menjadi fokus utama pemerintah demi mendorong pergerakan ekonomi domestik. Ia menekankan bahwa saat ini pasar ekspor sedang lesu, sehingga peran konsumsi dalam negeri menjadi semakin vital. Ia juga menggarisbawahi bahwa semangat deregulasi sebenarnya sudah digaungkan oleh Presiden Prabowo Subianto.
“Tidak hanya di Indonesia, hampir semua negara sekarang melakukan deregulasi karena pasar ekspor kita tidak bisa terlalu diandalkan,” jelasnya.
Bob juga memperingatkan soal potensi efek domino dari kebijakan yang terlalu membatasi ruang gerak industri. Ia menyebut bahwa dampaknya bisa meluas hingga menyentuh berbagai aspek kehidupan di luar sektor ekonomi itu sendiri.
Baca Juga: Stok Cadangan Beras Tembus 3,7 Juta Ton, Mentan Amran: Ini Adalah Sejarah Baru
Ia pun mendorong agar relaksasi kebijakan bisa diterapkan secara bertahap dan terukur agar bisa berdampak positif pada kondisi fiskal negara.
“Relaksasi harus dilakukan karena di satu sisi pemerintah sedang tertekan mengenai fiskal. Penerimaan negara berkurang, tapi jika relaksasi dilakukan secara tepat, ini akan terjadi pembalikan ekonomi dan revenue akan meningkat,” tambahnya.
Lebih lanjut, Bob mengusulkan agar pemerintah juga memperhitungkan elastisitas masing-masing sektor dalam menghadapi kebijakan pelonggaran.
“Jika kita punya gambaran seperti ini, kita bisa melakukan relaksasi secara bertahap, mulai dari industri yang memberikan pembalikan paling cepat, kemudian diikuti dengan industri lainnya,” tutup dia.
Baca Juga: Pangdam Siliwangi Cek Lokasi Pemusnahan Amunisi di Garut
Dari sisi pekerja, Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) juga menyuarakan keresahan yang sama. Mereka berharap pemerintah memberikan perlindungan nyata bagi sektor padat karya untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional, terlebih di tengah ketidakpastian global dan tensi perdagangan internasional.
Ketua Umum FSP RTMM-SPSI, Sudarto AS, menyatakan bahwa pengusaha dan buruh seharusnya memperoleh perlakuan setara dalam hal perlindungan dan pembelaan, sesuai prinsip Hubungan Industrial Pancasila. Ia mengingatkan bahwa industri padat karya seperti tembakau dan makanan minuman punya kontribusi besar dalam pembangunan bangsa.
Sudarto menyoroti beberapa pasal dalam PP 28/2024 yang dinilai berpotensi mengganggu sektor tersebut, termasuk ketentuan larangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari fasilitas tertentu, serta pengaturan mengenai kadar Gula, Garam, dan Lemak (GGL).
Baca Juga: PT Pindad dan KG Mobility Kolaborasi Bangun Mobil Listrik Nasional
Ia juga menolak rencana penyamaan kemasan rokok tanpa merek seperti yang tercantum dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) yang menjadi turunan dari PP ini.
“Regulasi-regulasi tersebut akan memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap keberlangsungan industri padat karya yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dan memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan negara,” tegas Sudarto dalam keterangan resmi belum lama ini.
Selain itu, Sudarto juga meminta agar pemerintah membuka ruang dialog yang adil bagi perwakilan pekerja, termasuk FSP RTMM-SPSI yang mewakili 250.347 orang anggota. Ia menilai pelibatan pekerja dalam proses perumusan kebijakan sangat penting demi menciptakan keputusan yang adil dan berimbang.