Pelaku Usaha Khawatir PP 28/2024 Berpotensi Hambat Pertumbuhan Ekonomi dan Picu Ketidakstabilan Sosial

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 21 Mei 2025, 19:42
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Penulis & Editor
Bagikan
Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani usai konferensi pers Outlook Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2025 di Jakarta. Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani usai konferensi pers Outlook Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2025 di Jakarta. (Antara)

Ntvnews.id, Jakarta - Penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 menimbulkan kekhawatiran luas di kalangan dunia usaha. Regulasi yang mengatur cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK), pembatasan kandungan Gula-Garam-Lemak (GGL), aturan zonasi penjualan rokok, hingga rencana standarisasi kemasan rokok tanpa merek dianggap berisiko menekan industri strategis dan mengurangi daya beli masyarakat, sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi nasional.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Shinta Kamdani, menegaskan perlunya deregulasi atas PP 28/2024. Dia menyoroti bahwa kebijakan yang terlalu ketat dapat mendorong masyarakat beralih ke produk yang lebih murah bahkan ilegal.

“Jika tidak ada revisi atau penyesuaian kebijakan, maka target ambisius pertumbuhan ekonomi 8 persen akan semakin sulit dicapai,” ujarnya baru-baru ini.

Shinta juga menekankan bahwa Industri Hasil Tembakau (IHT) dan industri makanan-minuman merupakan sektor manufaktur padat karya yang menyerap jutaan tenaga kerja dan berkontribusi besar terhadap penerimaan negara.

“IHT dan industri makanan minuman mewakili sektor padat karya yang masih produktif berkontribusi kepada penyerapan tenaga kerja, sekaligus kontribusi fiskal penerimaan negara, sehingga perlu bijaksana dalam menerapkan regulasi yang berpotensi mengurangi kinerja atau produktivitasnya,” tambahnya.

Baca Juga: Pengusaha Jelaskan Penyebab Data PHK Apindo Berbeda dengan Kemnaker

Pada 2023, IHT tercatat menyumbang sekitar Rp213,5 triliun dari cukai atau sekitar 10% dari total penerimaan pajak nasional, dengan melibatkan sekitar enam juta pekerja dari petani hingga sektor pendukung seperti industri kreatif. Sementara itu, industri makanan dan minuman juga menjadi kontributor besar bagi PDB sektor manufaktur dan penyerapan tenaga kerja.

APINDO mengingatkan bahwa penerapan PP 28/2024 tanpa mempertimbangkan keseimbangan ekonomi dapat menghambat kontribusi kedua sektor tersebut. Penurunan produksi legal, lonjakan rokok ilegal, serta pembatasan promosi dan distribusi berpotensi menurunkan output industri, memicu pemutusan hubungan kerja (PHK), dan menekan penerimaan negara.

“Tanpa penyesuaian kebijakan, kita berisiko kehilangan salah satu mesin pertumbuhan ekonomi domestik yang selama ini cukup stabil menopang PDB dan pendapatan negara.”

Dampak PP 28/2024 juga langsung dirasakan oleh pelaku usaha mikro dan pedagang ritel. Wakil Ketua Umum Asosiasi Koperasi Ritel Indonesia (AKRINDO), Anang Zunaedi, mengkritik aturan larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak sebagai kebijakan tidak realistis yang berpotensi menimbulkan konflik sosial.

Baca Juga: Pakar Pede Ekonomi RI 2025 Bisa Tumbuh di Atas 5 Persen

“Karena memang mungkin harus sangat hati-hati ya, karena nanti akan timbul pasti konflik sosial, itu pasti,” ungkap Anang dalam keterangannya, Rabu, 21 Mei 2025.

Menurutnya, penerapan aturan ini dapat membuat pedagang kecil kewalahan, bahkan berisiko penyitaan barang dagangan dan larangan berdagang. Padahal, rokok merupakan produk unggulan dengan perputaran cepat yang menjadi tumpuan ekonomi mandiri mereka tanpa bergantung bantuan pemerintah.

Anang berpendapat aturan zonasi tersebut sulit diimplementasikan dan cenderung tidak adil karena banyak pedagang mikro dan ultra-mikro sudah berdagang sebelum keberadaan satuan pendidikan atau tempat bermain anak.

“Lalu di satu sisi juga, pedagang itu ‘kan tidak menyasar mereka yang ada di satuan pendidikan itu, tapi mereka menyasar konsumen dewasa. Harusnya disurvei dulu ya, jadi disurvei dulu bagaimana konsumennya,” imbuhnya.

Baca Juga: Ojol Ancam Aksi Lebih Besar Kalau Biaya Aplikasi Nggak Direvisi

Dia mengingatkan bahwa PP 28/2024 bisa sangat berpengaruh pada omzet pedagang. Penjualan rokok bisa mencapai 20-30% dari total penjualan, bahkan lebih besar bagi pedagang mikro yang produknya terbatas pada rokok.

Menurut Anang, pendekatan edukasi lebih efektif dibandingkan regulasi ketat. Edukasi kepada pedagang dan pelajar harus menjadi langkah awal dalam pengendalian konsumsi.

“Yang perlu itu kontrolnya. Kenapa tidak dimulai dengan edukasi dulu, ya ke pedagangnya, kemudian ke pelajarnya, itu kan lebih penting,” tegasnya.

AKRINDO juga sepakat agar pasal tembakau dalam PP 28/2024 dibatalkan, bukan hanya karena dampak negatifnya, tetapi juga karena minimnya partisipasi publik dalam proses penyusunan kebijakan.

“Belum pernah ada ajakan diskusi dari pemerintah dalam proses penyusunan kebijakan. Kita belum pernah diundang atau diajak bicara, baik koperasi, UMKM, yang ultramikro,” tutupnya.

x|close