Ntvnews.id, Jakarta - Rencana pemerintah untuk menambah Golongan III pada Sigaret Kretek Mesin (SKM) dalam struktur tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) memicu kritik dari berbagai kalangan. Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menyampaikan bahwa langkah tersebut bertentangan dengan tujuan utama dari kebijakan cukai, yaitu pengendalian konsumsi rokok serta optimalisasi penerimaan negara.
Menurut CISDI, penambahan golongan baru justru berpotensi memperburuk tren downtrading, yakni peralihan konsumen ke produk rokok dengan harga yang lebih murah. Fenomena ini menjadi salah satu tantangan dalam sistem cukai saat ini karena tidak hanya berdampak negatif terhadap kesehatan masyarakat, tetapi juga bisa mengurangi pendapatan negara dan membuka celah bagi peredaran rokok ilegal.
“Penambahan layer SKM Golongan III ini sangat kontraproduktif,” ujar Project Lead Tobacco Control CISDI, Beladenta Amalia dalam keterangannya, Selasa, 22 Juli 2025.
Beladenta menjelaskan bahwa saat ini struktur tarif cukai tembakau sudah memiliki delapan layer. Jika ditambah lagi menjadi sembilan, hal tersebut justru akan menambah kompleksitas sistem dan menurunkan efektivitas kebijakan yang ada.
“Dengan menambah layer tambahan ke struktur cukai kita yang sudah sangat kompleks, justru malah bisa menambah opsi harga kepada konsumen perokok. Karena dengan sistem cukai selama ini sebenarnya dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sudah mengeluhkan adanya fenomena downtrading,” jelasnya.
Ia menambahkan, harga rokok yang lebih murah umumnya dibebani tarif cukai yang lebih rendah, sehingga potensi pemasukan negara ikut terdampak. “Rokok yang murah itu kan tentu tarif cukainya lebih rendah, artinya negara juga akan rendah pemasukannya karena ada downtrading ini, sehingga penerimaan negara tidak akan optimal,” kata Beladenta.
Selain merugikan dari sisi fiskal, struktur tarif yang makin rumit juga menyulitkan pengawasan di lapangan. Semakin banyak jenis pita cukai, maka semakin banyak pula produk yang perlu diawasi oleh Bea Cukai.
“Karena makin banyak jenis rokok yang harus diawasi, sehingga ini yang membuat penegakan itu semakin rumit, dan memperbesar potensi celah rokok ilegal,” ujar Beladenta.
Sebagai solusi, CISDI mendorong pemerintah untuk merampingkan struktur tarif cukai, bukan menambahnya. Lembaga tersebut menyarankan agar jumlah layer dikurangi secara bertahap menjadi tiga hingga lima saja hingga tahun 2029, seiring dengan implementasi kebijakan cukai multi-tahun.
Pendekatan tersebut diyakini bisa memberikan kepastian bagi pelaku industri tembakau, sekaligus memperkuat upaya pengendalian konsumsi rokok. Beladenta pun menyoroti inkonsistensi kebijakan pemerintah dalam hal ini.
“Sangat disayangkan ya sebenarnya waktu itu pemerintah sudah berani mengeluarkan cukai multi-year dari tahun 2023 sampai 2024. Semestinya itu diteruskan menurut kami,” tegasnya.
CISDI menyimpulkan bahwa kebijakan menambah golongan baru dalam struktur tarif CHT bukanlah jalan keluar, melainkan akan memperumit sistem yang ada, memperbesar potensi rokok ilegal, dan melemahkan penerimaan negara. Mereka mendesak agar pemerintah mengambil sikap yang konsisten dan berani dalam mengedepankan kepentingan kesehatan publik dan masa depan fiskal negara.