Ntvnews.id, Jakarta - Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran atau RUU Penyiaran menuai kontoversi. Draf yang saat ini dalam proses pemeriksaan di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI tersebut dinilai bakal menghambat kebebasan pers di Indonesia.
Bahkan, beberapa pasal secara gamblang melarang adanya penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Hal ini karena bisa saja mengganggu proses pro justitia aparat penegak hukum dan membentuk opini publik terhadap proses penegakan hukum.
Klaim ini menjadi alasan Komisi I DPR RI untuk menambahkan pasal larangan penayangan karya jurnalisme investigasi dalam draf RUU Penyiaran tersebut. Nah, untuk mengetahui lebih lanjut, berikut ulasan mengenai fakta RUU Penyiaran yang dimaksud.
Salah satu pasal yang menuai polemik adalah pasal 50B ayat (2) huruf c yang memuat aturan Standar Isi Siaran (SIS) yang melarang “penayangan eksklusif jurnalistik investigasi’ dalam panduan kelayakan isi siaran dan konten siaran.
Larangan ini tentu saja akan mengancam kemerdekaan pers dan bertentangan dengan Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengatur pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.
Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bayu Wardhana meminta supaya DPR RI menghapus pasal-pasal yang dinilai bermasalah. Bayu juga mengatakan bahwa seharusnya DPR menjadikan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai rujukan utama.
Jika mengacu pada UU tersebut, diharapkan tidak ada lagi pasal-pasal yang bermasalah. Namun, konsideran draf RUU Penyiaran yang saat ini masih digodok di Badan Legislasi DPR RI tidak mencantumkan UU Pers sama sekali.