Sosok 4 Mahasiswa Asal Jogja yang Gugat Hapus Ambang Batas Capres 20 Persen ke MK

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 3 Jan 2025, 09:21
Dedi
Penulis
Beno Junianto
Editor
Bagikan
Sidang Pleno Khusus dengan Agenda Penyampaian Laporan Tahunan 2024 dan Pembukaan Masa Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) Tahun 2025 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis, 2 Januari 2025. Sidang Pleno Khusus dengan Agenda Penyampaian Laporan Tahunan 2024 dan Pembukaan Masa Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) Tahun 2025 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis, 2 Januari 2025. (Antara)

Ntvnews.id, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan ketentuan ambang batas atau presidential threshold minimal 20 persen kursi DPR sebagai syarat mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Gugatan terhadap Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tersebut diajukan oleh empat mahasiswa dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Keempat mahasiswa tersebut terdiri atas Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna. Mereka semua merupakan mahasiswa dari Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Dengan putusan ini, semua partai politik yang menjadi peserta pemilu diberikan hak yang sama untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang yang menangani perkara 62/PUU-XXI/2023, yang berlangsung di Gedung MK, Jakarta Pusat, pada Kamis, 2 Januari 2025. Dalam sidang tersebut, MK mengabulkan seluruh permohonan para pemohon.

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). <b>(Antara)</b> Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (Antara)

"Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," ujar Suhartoyo.

Dalam argumennya, MK menilai bahwa ketentuan pengusulan pasangan calon berdasarkan ambang batas tidak efektif dalam menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu. Selain itu, ambang batas tersebut dinilai lebih menguntungkan partai politik yang sudah memiliki kursi di DPR.

"Dalam konteks itu, sulit bagi partai politik yang merumuskan besaran atau persentase ambang batas untuk dinilai tidak memiliki benturan kepentingan (conflict of interest)," kata Wakil Ketua MK Saldi Isra.

Halaman
x|close