Mengenal Deinfluencing, Tren Media Sosial yang Mengubah Cara Konsumsi

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 14 Feb 2025, 19:49
thumbnail-author
Dedi
Penulis
thumbnail-author
Siti Ruqoyah
Editor
Bagikan
Ilustrasi Belanja Ilustrasi Belanja (Pixabay)

Ntvnews.id, Jakarta - Dalam beberapa tahun terakhir, budaya konsumtif semakin meningkat akibat tren media sosial yang mendorong pengguna untuk membeli berbagai produk viral. Namun, tren baru bernama deinfluencing kini mulai berkembang sebagai respons terhadap pola konsumsi berlebihan.

Tagar #Deinfluencing telah mencapai lebih dari satu miliar tampilan di TikTok, di mana banyak kreator media sosial menyarankan pengikut mereka untuk tidak membeli produk tertentu. Ini bertentangan dengan tren sebelumnya yang mendorong konsumen untuk segera membeli barang yang dipromosikan oleh influencer.

Apa Itu Deinfluencing?

ilustrasi belanja. <b>(Pixabay)</b> ilustrasi belanja. (Pixabay)

Deinfluencing adalah tren media sosial yang bertujuan untuk mengedukasi masyarakat agar lebih selektif dalam berbelanja dan tidak mudah tergoda oleh tren yang belum tentu bermanfaat. Edukator lingkungan Isaias Hernandez menjelaskan bahwa deinfluencing mengajak masyarakat untuk tidak mengonsumsi barang secara berlebihan, terutama yang tidak memiliki manfaat nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Kreator TikTok @sadgrlswag adalah salah satu pelopor tren ini. Dalam videonya, ia menyoroti berbagai produk viral yang menurutnya tidak layak dibeli, seperti Ugg Minis, Dyson Airwrap, dan AirPods Pro Max. Videonya mendapat respons besar dan mendorong banyak pengguna lain untuk melakukan hal serupa.

Mengapa Deinfluencing Meningkat?

Skeptisisme terhadap influencer dan promosi berbayar telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Banyak pengguna media sosial merasa bahwa konten promosi sering kali berlebihan dan tidak sepenuhnya jujur.

Salah satu contoh kasus yang mempercepat tren deinfluencing adalah skandal Mascaragate yang melibatkan influencer kecantikan Mikayla Nogueira. Ia dituduh menggunakan bulu mata palsu untuk meningkatkan efek maskara dalam ulasan berbayarnya, yang membuat banyak pengguna semakin kritis terhadap iklan di media sosial.

Selain itu, faktor global seperti krisis lingkungan dan ketidakstabilan ekonomi juga berperan dalam meningkatnya tren ini. Venetia La Manna, salah satu pendiri Remember Who Made Them, mengatakan bahwa semakin banyak orang merasa tidak nyaman dengan konsumsi berlebihan di tengah berbagai isu sosial dan lingkungan. “Saat ini, berbelanja tanpa berpikir terasa semakin tidak relevan,” ujarnya.

Apa Dampaknya?

Ilustrasi Belanja <b>(Pixabay)</b> Ilustrasi Belanja (Pixabay)

Deinfluencing tidak hanya sekadar tren sesaat, tetapi juga mempengaruhi cara orang berpikir tentang konsumsi. Banyak deinfluencer yang kini berfokus pada edukasi konsumen agar lebih cerdas dalam memilih produk. Beberapa dari mereka masih merekomendasikan barang tertentu, tetapi dengan pendekatan yang lebih bertanggung jawab, seperti membeli produk bekas atau mendukung merek yang etis.

La Manna menegaskan bahwa tujuan utama deinfluencing bukan hanya mengganti satu produk dengan produk lain yang lebih baik, tetapi juga mengajak masyarakat untuk mengurangi kebiasaan konsumtif secara keseluruhan. “Kita harus mulai berpikir bagaimana bisa membeli lebih sedikit dan lebih banyak belajar,” katanya.

Tren deinfluencing menjadi pengingat bahwa dalam era media sosial, keputusan konsumsi tidak hanya dipengaruhi oleh promosi, tetapi juga oleh kesadaran dan tanggung jawab individu. Seiring dengan semakin banyaknya orang yang sadar akan dampak konsumsi berlebihan, tren ini diprediksi akan terus berkembang di tahun-tahun mendatang.

x|close