Ntvnews.id, Jakarta - Dalam tiga hari terakhir, lebih dari 200 warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak, tewas akibat serangan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) di Negara Bagian Nil Putih, Sudan. Serangan ini juga mengakibatkan ratusan orang lainnya terluka. Dua desa yang sebelumnya bebas dari aktivitas militer menjadi sasaran utama dalam serangan tersebut.
Kementerian Luar Negeri Sudan melaporkan bahwa jumlah korban tewas mencapai 433 orang. Sementara itu, kelompok hak asasi manusia Emergency Lawyers memperkirakan lebih dari 200 orang tewas selama tiga hari kekerasan tersebut. Serangan ini mencakup eksekusi, penculikan, penghilangan paksa, dan penjarahan.
Baca juga: Pengguna Gmail Diminta Waspadai Serangan Phishing Canggih, Hindari Klik Email Mencurigakan
Konflik antara tentara Sudan dan RSF telah berlangsung sejak April 2023, menyebabkan lebih dari 24.000 orang tewas dan 14 juta lainnya mengungsi. Meskipun ada upaya mediasi internasional, pertempuran terus berlanjut, dengan kedua belah pihak berusaha menguasai wilayah strategis.
Komite Internasional Palang Merah (ICRC) memperingatkan bahwa konflik yang berkelanjutan dapat memicu wabah penyakit dan keruntuhan sistem layanan kesehatan di Sudan. Selain itu, PBB telah meminta dana sebesar $6 miliar untuk respons kemanusiaan pada tahun 2025 guna menangani krisis yang semakin memburuk.
Duta Besar Sudan untuk Rusia, Mohamed Siraj, sebelumnya menyatakan harapannya agar konflik bersenjata ini dapat berakhir pada tahun 2025. Namun, dengan eskalasi kekerasan terbaru, prospek perdamaian tampak semakin suram.
Situasi di Sudan memerlukan perhatian dan tindakan segera dari komunitas internasional untuk mencegah lebih banyak korban jiwa dan penderitaan lebih lanjut bagi warga sipil yang terjebak dalam konflik ini.
(Sumber: Antara)