Anggota DPR Nilai Duterte Tegas dan Tak Pandang Bulu

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 18 Mar 2025, 20:30
thumbnail-author
Moh. Rizky
Penulis
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Editor
Bagikan
Mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengikuti pertemuan ASEAN Leaders Gathering di Hotel Sofitel, Nusa Dua, Bali. Mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengikuti pertemuan ASEAN Leaders Gathering di Hotel Sofitel, Nusa Dua, Bali. (Dok.Antara)

Ntvnews.id, Jakarta - Anggota DPR RI angkat bicara soal penangkapan mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte oleh Mahkamah Kriminal Internasional (ICC). Duterte dinilai tegas memberantas narkoba dan hal itu wujud penegakan hukum. Pandangan itu disampaikan dua anggota Komisi I DPR RI, Slamet Riyadi dan Oleh Soleh.

"Tindakan pemberantasan narkoba itu wujud penegakan hukum," ujar Slamet, Selasa, 18 Maret 2025.

Oleh menekankan, negara memang perlu mengambil tindakan tegas dalam memerangi kejatahan narkoba.

"Tentunya ini bagian dari sikap atau contoh bahwasnya komitmen terhadap pemberantasan narkoba atau pemberantasan yang lainnya ini cukup serius dan tegas," kata dia.

Menurut Oleh, setiap negara berhak mengambil kebijakan tegas terhadap pemberantasan narkoba. "Pada dasarnya pemberlakuan adalah konsisten dan tegas. Sehingga tujuan negara tercapai. Tegas di sini tidak pandang bulu. Tegak lurus sesuai dengan aturan yang berlaku," kata politikus PKB itu.

Terpisah, Sekretaris Jenderal Gerakan Nasional Anti Narkoba (Granat) Firman Subagyo mengatakan, narkoba adalah isu global. "Ketika sebuah negara terancam maraknya narkoba dan akan merusak narkoba maka kedaulatan negara ditegakkan," ujarnya.

Ia tidak sepakat dengan pendapat bahwa pengedar narkoba tidak boleh dihukum mati atau dieksekusi. Baginya, hukuman mati wujud ketegasan melawan para perusak masyarakat itu.

Dia juga menekankan, setiap negara punya kedaulatan untuk menjalankan hukumnya. Kalau ada lembaga di luar negeri mau merintangi upaya penegakan hukum, maka suatu negara harus menegakkan kedaulatannya.

Sementara, pakar hukum internasional memandang unsur politis lebih kental dibandingkan unsur hukum dalam kasus Rodrigo Duterte. Penangkapannya lebih dilandasi kepentingan politik dari pemerintah yang berkuasa.

"Harus dipahami, kasus ini tidak terlepas dari masalah politik di Filipina. Marcos berkonflik dengan Duterte," ujar Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani sekaligus Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana.

Ia mengingatkan, Filipina bukan negara pihak dalam Mahkamah Kriminal Internasional atau International Court of Justice (ICC). Filipina di masa pemerintahan Duterte memutuskan keluar dari ICC.

"Ini ada pertanyaan soal kompetensi ICC untuk menangani kasus ini," kata dia.

Di negara lain yang bukan anggota ICC, pemerintah dan aparatnya mengabaikan perintah penangkapan yang dikeluarkan ICC. Di Filipina, Ferdinand Marcos Jr memanfaatkan perintah itu untuk mengalahkan Keluarga Duterte yang merupakan pesaingnya.

Apalagi, kasus yang menjadi dasar penangkapan juga memicu pertanyaan lain. Keputusan Duterte mengeksekusi anggota sindikat narkoba diapreasisi banyak pihak. "Bisa menyelamatkan banyak generasi muda dari jeratan kecanduan narkoba," kata Hikmahanto.

Hikmahanto juga mencontohkan soal Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu. Meski sudah ada perintah penangkapan, Netanyahu tetap bebas. Malah Amerika Serikat mengancam ICC kalau berani menangkap Netanyahu. "Jadi, ini bukan soal hukum saja," ujarnya.

Terkait dengan itu, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Diponegoro Eddy Pratomo mengatakan, ada tantangan pada ICC. "Apakah kasus yang terjadi pada Duterte dapat diterapkan secara adil pada pemimpin dunia lain yang diduga telah mengalukan pelanggaran pidana internasional seperti Netanyahu?" kata Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila itu.

Kegagalan menjawab pertanyaan itu akan semakin menguatkan dugaan ICC bias terhadap negara tertentu. ICC dipandang jadi alat sekelompok negara untuk mengacau atau menekan negara lain.

x|close