Adik Hendry Lie Didakwa Terlibat Korupsi Timah, Rugikan Negara Rp300 Triliun

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 25 Mar 2025, 18:02
thumbnail-author
Katherine Talahatu
Penulis
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Editor
Bagikan
Marketing PT Tinindo Inter Nusa (TIN) periode 2008-2018 Fandy Lingga saat menunggu sidang pembacaan surat dakwaan kasus korupsi timah dimulai di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Marketing PT Tinindo Inter Nusa (TIN) periode 2008-2018 Fandy Lingga saat menunggu sidang pembacaan surat dakwaan kasus korupsi timah dimulai di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. (Antara)

Ntvnews.id, Jakarta -Fandy Lingga, yang pernah menjabat sebagai Direktur Pemasaran PT Tinindo Inter Nusa (TIN) selama periode 2008-2018 dan merupakan adik dari terdakwa Hendry Lie, didakwa terlibat dalam kasus korupsi komoditas timah yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp300 triliun.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung, Feraldy Abraham Harahap, mengungkapkan bahwa Fandy Lingga turut menghadiri sejumlah pertemuan sebagai perwakilan PT TIN dalam pembahasan kerja sama antara smelter swasta dan PT Timah Tbk.

"Telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, sehingga merugikan keuangan negara," ujar JPU dalam sidang pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa, 25 Maret 2025. 

Fandy Lingga terancam hukuman sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah mengalami perubahan melalui UU Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Baca juga: Majelis Hakim PT DKI Jakarta Perberat Vonis Direktur PT SIP dalam Kasus Korupsi Timah

Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengungkapkan bahwa Fandy kerap mewakili PT Tinindo Inter Nusa (TIN) dalam sejumlah pertemuan untuk membahas kerja sama antara smelter swasta dan PT Timah. Salah satu pertemuan tersebut berlangsung di Griya PT Timah dan Hotel Novotel Pangkalpinang.

Dalam pertemuan itu, Fandy berdiskusi dengan Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, yang menjabat sebagai Direktur Utama PT Timah periode 2016-2021, serta Alwin Albar, Direktur Operasi PT Timah periode 2017-2020. Selain itu, turut hadir 30 pemilik smelter swasta untuk membahas permintaan Mochtar dan Alwin terkait alokasi bijih timah sebesar 5 persen dari kuota ekspor yang dimiliki smelter-swasta tersebut.

Pasalnya, bijih timah yang diekspor oleh smelter swasta tersebut berasal dari hasil tambang di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah.

JPU juga mengungkapkan bahwa Fandy bersama General Manager Operasional PT TIN periode 2017-2020, Rosalina, turut menghadiri pertemuan dengan direksi PT Timah di Restoran Sofia, Hotel Gunawarman, Jakarta Selatan.

Pertemuan tersebut dihadiri oleh Mochtar, Alwin, dan Eko Junianto, serta beberapa perwakilan dari smelter swasta, termasuk Harvey Moeis dan Reza Ardiansyah dari PT Refined Bangka Tin (RBT), Tamron dari CV Venus Inti Perkasa (VIP), Robert Indarto dari PT Sariwiguna Binasentosa (SBS), serta Suwito Gunawan dari PT Stanindo Inti Perkasa (SIP). Agenda utama pertemuan tersebut adalah membahas pelaksanaan kerja sama terkait penyewaan peralatan pengolahan timah.

Setelahnya, Fandy memerintahkan Rosalina untuk menyusun surat penawaran kerja sama dari PT TIN terkait penyewaan alat pengolahan timah kepada PT Timah. Penyusunan surat tersebut dilakukan atas persetujuan Pemilik Manfaat PT TIN, Hendry Lie, dengan melibatkan empat smelter swasta, yaitu PT RBT, CV VIP, PT SBS, dan PT SIP.

Namun, diketahui bahwa smelter-swasta yang terlibat tidak memiliki tenaga ahli atau competent person yang memenuhi standar. Selain itu, konsep surat penawaran kerja sama tersebut sebelumnya telah disiapkan oleh PT Timah.

Lebih lanjut, JPU menyatakan bahwa Fandy dan Rosalina menyadari serta menyetujui pembentukan perusahaan fiktif atau perusahaan cangkang, yakni CV Bukit Persada Raya dan CV Sekawan Makmur Sejati. Kedua perusahaan ini berperan sebagai mitra jasa borongan yang akan menerima Surat Perintah Kerja (SPK) pengangkutan dari PT Timah untuk membeli serta mengumpulkan bijih timah dari penambang ilegal di wilayah IUP PT Timah.

"Selanjutnya, bijih timah dijual kepada PT Timah sebagai tindak lanjut pelaksanaan kerja sama sewa peralatan pengolahan penglogaman antara PT. Timah dengan PT TIN," ungkap JPU.  

Fandy, bersama Rosalina dan Hendry, melalui PT Tinindo Inter Nusa (TIN) serta perusahaan-perusahaan afiliasi, menerima pembayaran atas bijih timah dari PT Timah. Namun, bijih timah tersebut diketahui berasal dari aktivitas penambangan ilegal di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah.

Selain itu, Fandy, Rosalina, dan Hendry, melalui PT TIN, juga memperoleh pembayaran dari PT Timah terkait kerja sama penyewaan peralatan pengolahan timah. Nilai sewa peralatan tersebut diketahui jauh lebih tinggi dibandingkan harga sewajarnya.

Lebih lanjut, dalam kapasitasnya sebagai perwakilan PT TIN, Fandy menyetujui langkah yang diinisiasi oleh Harvey dan sejumlah smelter swasta untuk melakukan negosiasi dengan PT Timah mengenai penyewaan smelter. Namun, proses negosiasi tersebut dilakukan tanpa adanya studi kelayakan maupun analisis yang komprehensif.

Tak hanya itu, Fandy dan Rosalina, sebagai representasi PT TIN, turut menyetujui permintaan Harvey terkait pembayaran biaya pengamanan, yang berkisar antara 500 hingga 750 dolar Amerika Serikat (AS) per ton.

"Biaya pengaman itu seolah-olah dicatat sebagai dana Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) dari para smelter swasta," tutur JPU. 

Fandy dan Rosalina, yang mewakili PT TIN, bekerja sama dengan empat smelter swasta lainnya, serta PT Timah melalui Harvey, untuk menerbitkan Surat Perintah Kerja (SPK) di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah. SPK ini bertujuan untuk melegalkan pembelian bijih timah oleh smelter swasta, yang ternyata berasal dari aktivitas penambangan ilegal di IUP PT Timah.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengungkapkan bahwa Fandy, yang bertindak atas nama PT TIN, diduga mengetahui dan menyetujui langkah Harvey serta para pemimpin smelter swasta dalam membentuk kerja sama sewa peralatan pengolahan timah dengan PT Timah. Hal yang lebih mencurigakan adalah bahwa kerja sama tersebut tidak tercatat dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) PT Timah, maupun dalam RKAB smelter dan perusahaan afiliasinya.  

Baca juga: Hakim Sebut Harvey Moeis Aktor Penting Kasus Korupsi Timah

"Fandy dan Rosalina bersama-sama para petinggi smelter swasta lainnya menyepakati harga sewa peralatan processing penglogaman timah sebesar 4.000 per ton untuk PT RBT dan 3.700 per ton untuk empat smelter tanpa kajian dengan kajian dibuat tanggal mundur," ucap JPU menambahkan. 

Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengungkapkan bahwa Fandy dan Rosalina, yang bertindak atas nama PT TIN, bersama empat smelter swasta lainnya, diduga mengetahui dan menyetujui langkah Harvey serta bantuan dari pemilik PT Quantum Skyline Exchange, Helena Lim, dalam menerima biaya pengamanan, yang kemudian diserahkan kepada Harvey.

Selanjutnya, Fandy memerintahkan Rosalina untuk mentransfer dana sebesar 25 ribu dolar AS setiap bulan sejak dimulainya kerja sama sewa peralatan pengolahan timah antara PT Timah dan PT TIN. Uang tersebut diberikan kepada Helena sebagai biaya pengamanan, yang akhirnya diteruskan kepada Harvey. 

(Sumber: Antara)

x|close