Ntvnews.id, Jakarta - Dalam menyikapi penanganan kasus pemerkosaan yang melibatkan seorang dokter PPDS di RS Hasan Sadikin, Bandung, Ahli Psikologi Forensik Reza Indragiri memberikan pandangannya yang tegas dan kritis terhadap pendekatan aparat penegak hukum.
Ia mempertanyakan keputusan penyidik Polda Jawa Barat yang membuka kemungkinan pelaku mengidap kelainan seksual seperti somnofilia.
“Coba tanya ke P: pada momen apa dia pertama kali tertarik secara seksual pada target? Dia pertama kali bernafsu pada target ketika target sedang melakukan apa?” ujar Reza, dalam pernyataan resmi yang diterima NTVnew.id, Sabtu, 12 April 2025.
Reza menjelaskan bahwa pelaku diduga melakukan kekerasan terlebih dahulu untuk membuat korban tidak sadar, sebelum kemudian melakukan aksi bejatnya.
Baca Juga: Kemenkes Pastikan Pemberhentian Sementara PPDS Unpad Tak Ganggu Layanan Pendidikan
“Dengan kata lain, keterangsangan seksual P mirip dengan orang kebanyakan,” katanya. Ia menegaskan bahwa kondisi pasif korban bukanlah pemicu gairah seksual, melainkan kondisi yang sengaja diciptakan pelaku demi mempermudah aksinya tanpa adanya perlawanan.
“Perkosaan yang brutal dilancarkan bahkan dengan membuat target pingsan terlebih dahulu,” tambah Reza.
Menurutnya, narasi kelainan seksual yang diangkat oleh polisi justru bisa berujung pada keringanan hukuman bagi pelaku. Padahal, pelaku semestinya dihukum berat berdasarkan prinsip retributif.
“Kelainan berasosiasi dengan gangguan, penyimpangan, ketidaknormalan, ketidaksehatan, dan semacamnya. Sehingga, alih-alih retributif, polisi justru seolah memakai cara pandang rehabilitatif,” ujarnya.
Ia menyayangkan bahwa narasi kelainan itu seolah menggambarkan pelaku sebagai orang yang perlu diobati, bukan sebagai pelaku kejahatan yang harus dihukum secara setimpal.
“Padahal, andai kelainan seksual itu benar-benar ada, bukan polisi melainkan penasehat hukum tersangka yang punya kepentingan membangun narasi itu,” jelas Reza.
Baca Juga: Keji, Dokter PPDS Perkosa Pasien dengan Modus Uji Alergi
Ia menambahkan bahwa langkah kepolisian tersebut dapat dianggap salah kaprah dan kontraproduktif.
“Diangkatnya narasi tentang kelainan seksual terkesan sebagai cara Polda Jabar menambah bobot dramatis kasus ini. Cara itu—salah kaprah—bisa kontraproduktif atau bertentangan dengan ekspektasi publik bahwa pelaku mesti dihukum seberat-beratnya jika ia divonis bersalah,” pungkasnya.
Dugaan ini mencuat setelah dilakukan pemeriksaan awal oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jawa Barat terhadap pelaku.
"Dari pemeriksaan beberapa hari ini memang kecenderungan pelaku ini mengalami sedikit kelainan dari segi seksual. Nanti kita akan perkuat dengan pemeriksaan dari psikologi forensik," kata Surawan dalam konferensi pers di Bandung, Rabu, 9 April 2025.
Kabarnya, kelainan seksual yang dialami pelaku dikenal dengan istilah somnofilia.