Ntvnews.id, Jakarta - Kasus penipuan digital (scamming) dan jeratan judi online (judol) lintas negara kian marak dan melibatkan banyak pekerja migran Indonesia (PMI) sebagai korban. Ini diketahui dalam dialog nasional bertajuk "Transformasi Digital, Jeratan Scammer Judi Online Lintas Negara, dan Upaya Penyelamatan PMI/WNI Bermasalah sebagai Korban TPPO dari Luar Negeri" yang digelar di Gedung PBNU, Kamis, 24 April 2025.
Sekretaris Pimpinan Pusat (PP) Federasi Buruh Muslimin Nusantara (F-Buminu) Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) sekaligus sebagai Koordinator Divisi Bantuan Hukum Migrant Care Nur Harsono, mengungkapkan bahwa praktik penipuan digital dan judol kini menjadi satu paket kejahatan terorganisir yang bergeser dari dalam negeri ke negara-negara, seperti Kamboja, Laos, Filipina dan Myanmar.
"Dari temuan kami, sindikat scammer dan judi online kini menjadi kejahatan umum lintas negara. Mereka memanfaatkan situasi kondisi setelah pandemi Covid-19, meningkatnya pengangguran, serta minimnya peluang kerja di dalam negeri untuk merekrut korban, terutama usia produktif, serta lemahnya pengawasan pintu masuk bandara intrrnasional dan wilayah perbatasan" ujar Koordinator Divisi Bantuan Hukum Migrant Care itu.
Dia mengungkapkan, sepanjang tahun 2022 hingga 2024, Sarbumusi telah menerima sedikitnya 268 laporan dari korban scammer dan judi online dari berbagai daerah yakni Lampung, Bali, Sumatra, Jawa Barat, Bangka Belitung, Aceh, dan Jakarta. Menurut Harsono, sindikat memanfaatkan media sosial sebagai alat promosi lowongan kerja palsu yang menjanjikan iming-iming gaji tinggi dan karier yang menjanjikan, terutama pekerjaan yang berbau informasi teknologi.
Bahkan, di antara korban terdapat mantan anggota DPRD hingga eks-admin situs judi online.
"Korban sulit diidentifikasi karena perbedaan sistem hukum antarnegara. Pemerintah perlu memperkuat diplomasi dengan Myanmar dan Kamboja serta menggencarkan pengawasan dari tingkat pusat hingga desa," jelasnya.
Sementara, Direktur Siber Kementerian P2MI Brigjen Pol. Raja Sinambela mengungkapkan bahwa pihaknya telah melakukan patroli siber terhadap media sosial yang kerap mempromosikan lowongan kerja ke luar negeri secara masif. Tapi, upaya takedown akun kerap tidak membuahkan hasil maksimal, karena akan muncul kembali dalam selang waktu singkat.
"Setelah kami tutup, tumbuh seribu. Akun-akun ini terus bermunculan karena pembuatan platform sangat mudah dan masyarakat mudah percaya. Bahkan saat kita menghentikan pengiriman pekerja ke sana, mereka malah melawan karena tidak terdaftar secara resmi di sistem kami," beber Raja.
Keterbatasan yurisdiksi hukum menjadi tantangan besar. Hukum Indonesia, menurutnya tidak berlaku di Kamboja atau Myanmar. Di Myanmar, bahkan hukum masih dikuasai militer.
"Kalau kita berkoordinasi, junta militer bisa marah karena menganggap kita berhubungan dengan kelompok pemberontak," tuturnya.
Kementerian P2MI juga menemukan adanya lebih dari 21 grup Facebook yang masing-masing memiliki hingga 600 pengikut, berisi promosi lowongan kerja ke Kamboja dan Myanmar.
"Kami terbatas secara kewenangan. Urusan migran luar negeri adalah ranah Kemenlu, bukan Kementerian P2MI," tandasnya.