Ntvnews.id, Jakarta - Dunia maya kembali diguncang oleh kontroversi yang melibatkan teknologi kecerdasan buatan (AI) dan simbol-simbol LGBT di tempat paling suci umat Islam.
Sebuah video manipulasi yang menampilkan bendera pelangi dan tarian di depan Ka'bah, Masjidil Haram, Makkah, viral di berbagai platform media sosial dan menuai kemarahan publik, terutama dari komunitas Muslim global.
Video berdurasi 29 detik yang diunggah oleh akun media sosial @PixelHELPER yang dikenal sebagai aktivis LGBT dan pro-Israel asal Jerman memicu kemarahan luas.
Dalam video tersebut, tampak beberapa individu menari di sekitar Ka'bah dengan mengenakan atribut LGBT serta pakaian terbuka, lengkap dengan latar musik yang ramai. Tak hanya menodai nilai-nilai kesakralan tempat ibadah, konten tersebut dinilai sebagai bentuk provokasi terhadap keyakinan umat Islam.
Akun Pixel Helper menyebut video itu sebagai bagian dari peringatan Hari Christopher Street, sebuah perayaan tahunan yang menyoroti perjuangan hak-hak LGBT.
“Tidak ada pawai kendaraan hias, tidak ada musik, hanya cinta tanpa alas dalam lingkaran. Kami menari, kami berseri-seri,” tulis mereka dalam unggahan tersebut.
Namun, kemarahan warganet tidak terbendung. Seruan untuk melaporkan akun tersebut menggema di platform X dan Instagram. Banyak yang menilai unggahan tersebut melewati batas, bahkan menistakan agama.
“Pelanggaran berkedok hiburan, yok bareng-bareng kita report akunnya. Jangan diamkan hal ini!” tulis warganet.
“Minta dihormati haknya, tetapi tidak mengormati keyakinan orang lain,” tambah akun lain.
Meski menuai kontroversi, video tersebut dipastikan bukan kejadian nyata. AI chatbot @Grok menegaskan bahwa konten itu sepenuhnya hasil manipulasi digital.
“Hukum di Arab Saudi melarang keras homoseksualitas, dengan hukuman berat, sehingga perayaan LGBT di depan Ka’bah sangat tidak mungkin terjadi,” jelasnya.
Kejadian ini mengangkat kembali perdebatan tentang batas etika penggunaan AI dalam konten digital. Meski teknologi memungkinkan visualisasi tanpa batas, nilai-nilai budaya dan agama tetap menjadi batas yang tak bisa disepelekan.
Dalam era di mana teknologi bisa menyesatkan persepsi, penting bagi masyarakat global untuk waspada terhadap konten provokatif yang bisa merusak toleransi dan harmoni antarumat.