Kondisi Industri Tembakau Jadi Sorotan, Serikat Pekerja Ajukan Moratorium Cukai

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 28 Mei 2025, 18:33
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Penulis & Editor
Bagikan
Ilustrasi Tembakau Ilustrasi Tembakau (Indonesia.go.id)

Ntvnews.id, Jakarta - Industri hasil tembakau tengah menghadapi tekanan berat akibat perlambatan ekonomi domestik dan ketidakpastian global. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), sektor pengolahan tembakau mencatat kontraksi terdalam pada kuartal I/2025, yaitu sebesar -3,77 persen secara tahunan (year-on-year), berbanding terbalik dengan pertumbuhan positif 7,63 persen pada periode yang sama tahun lalu.

Situasi ini mendorong munculnya desakan agar pemerintah menghentikan sementara kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) selama tiga tahun ke depan. Seruan moratorium ini datang dari kalangan serikat pekerja, khususnya mereka yang tergabung dalam sektor padat karya.

Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM SPSI), Sudarto AS, menekankan bahwa moratorium sangat penting demi menjaga kelangsungan industri padat karya yang memiliki rantai pasok panjang.

“Tidak adanya kenaikan CHT selama tiga tahun ke depan penting dilakukan untuk menyelamatkan industri padat karya sebagai industri strategis dengan mata rantai yang panjang,” ujar Sudarto dalam keterangannya, Rabu, 28 Mei 2025.

Ia mengingatkan bahwa industri hasil tembakau (IHT) menyerap banyak tenaga kerja, mulai dari petani, pelaku produksi, hingga sektor distribusi dan ritel. Namun, kebijakan fiskal yang agresif dalam bentuk kenaikan cukai justru berisiko melemahkan sektor ini.

"Di situasi ekonomi yang stagnan bahkan melemah dan PHK besar-besaran, otomatis daya beli ikut stagnan, bahkan menurun, harga rokok sudah tinggi dan mahal, serta peredaran rokok ilegal meningkat," jelasnya.

Sudarto juga menegaskan bahwa kebijakan fiskal yang tidak mempertimbangkan dampaknya bisa merugikan industri padat karya strategis. Ia menyarankan perlunya langkah-langkah evaluasi dan reformasi kebijakan agar sektor ini tetap bisa bertahan.

“Perlu dilakukan deregulasi dan revitalisasi, khususnya untuk industri padat karya,” tegasnya.

Kritik juga ia sampaikan terhadap ketidakkonsistenan kebijakan pemerintah dalam melindungi pekerja di sektor makanan, minuman, dan tembakau. Ia menyoroti pengecualian sektor ini dari insentif pajak PPh 21 padat karya yang diatur dalam PMK No.10/2025.

“Kebijakannya tidak konsisten dan berubah-ubah, bahkan PMK No. 10/2025 terkait insentif PPh 21, pekerja mamin dan tembakau didiskriminasi, tidak termasuk pekerja padat karya yang mendapatkan insentif,” ungkap Sudarto.

FSP RTMM SPSI meyakini bahwa moratorium CHT bisa menjadi langkah krusial dalam mendorong pemulihan ekonomi nasional. “IHT adalah industri padat karya, dan dominan menggunakan bahan baku Indonesia, tentunya sektor ini akan sangat membantu pemulihan ekonomi nasional,” kata Sudarto.

Dukungan terhadap seruan ini juga datang dari kalangan akademisi. Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus, menyatakan pentingnya kebijakan yang tepat sasaran untuk mendukung industri padat karya seperti IHT.

“Efisiensi anggaran yang kontraktif seharusnya diimbangi dengan realokasi dari yang kurang produktif ke yang lebih produktif dan berdampak pada ekonomi masyarakat,” ujarnya.

Lebih lanjut, Ahmad menekankan bahwa daya saing dan kepastian pasar merupakan elemen penting yang perlu dijaga dalam IHT. Menurutnya, hal tersebut akan berdampak langsung terhadap keberlangsungan bisnis, penyerapan tenaga kerja, serta percepatan pemulihan ekonomi.

x|close