Ntvnews.id, Jakarta - Perdebatan seputar Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) kembali mengemuka, memunculkan kekhawatiran terkait potensi intervensi pihak asing terhadap kebijakan dalam negeri Indonesia.
Meskipun perjanjian internasional yang diinisiasi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) ini belum pernah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia sejak diperkenalkan pada 2002, pengaruhnya dinilai telah menyusup secara halus ke sistem hukum nasional.
FCTC dianggap sebagai alat tekanan global terhadap negara-negara penghasil tembakau. Indonesia, sebagai salah satu negara yang memiliki ekosistem industri tembakau yang besar dan berakar kuat dalam sejarah dan budaya, secara konsisten menolak meratifikasi perjanjian tersebut.
Prof. Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, mengapresiasi langkah tegas pemerintah yang tidak meratifikasi FCTC. Ia menyebut keputusan ini sebagai bentuk nyata perlindungan terhadap kedaulatan nasional.
Baca Juga: Koalisi 13 Organisasi Desak Pemengaruh Hentikan Promosi Vape kepada Anak-anak
“Lalu apa yang mereka akan lakukan? Ini tangan-tangan dari luar yang ingin mengganggu kedaulatan kita. Mereka mencoba melakukannya untuk meminta Indonesia tidak meratifikasi, tapi mengadopsi,” jelas Prof Hikmahanto dalam keterangannya, Jumat, 30 Mei 2025.
Ia menilai, meskipun belum diratifikasi, terdapat indikasi kuat bahwa prinsip-prinsip dalam FCTC sedang coba disisipkan ke dalam kebijakan nasional secara perlahan dan sistematis. Upaya ini disebutnya sebagai bentuk penjajahan gaya baru, bukan dengan kekuatan senjata, melainkan melalui instrumen hukum internasional.
“Sekarang dia tidak menggunakan asas konkordansi yang dibenarkan melalui alat kolonialisme, tetapi sekarang itu disebut sebagai penjajahan model baru menggunakan perjanjian internasional untuk melakukan intervensi terhadap kedaulatan suatu negara,” tambahnya.
Baca Juga: Cadangan Beras Tembus 4 Juta Ton, Mentan Amran: Terbesar dalam Sejarah
Lebih lanjut, Prof. Hikmahanto menyinggung adanya tekanan dari berbagai pihak agar Indonesia mengadopsi ketentuan-ketentuan FCTC ke dalam kebijakan domestik, termasuk melalui regulasi turunan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024, yang salah satunya mengusulkan kebijakan plain packaging atau kemasan polos tanpa identitas merek bagi produk rokok.
Sebagai contoh pendekatan berbeda, ia menyebut Amerika Serikat sebagai negara yang selektif dalam merespons perjanjian internasional. Walaupun ikut aktif dalam pembentukan berbagai konvensi global, AS kerap menolak untuk meratifikasi jika dirasa tidak sejalan dengan kepentingan nasionalnya.
“Nah, jadi kita pun harus seperti Amerika Serikat yang tahu betul apa arti dari suatu kedaulatan. Kalau misalnya kepentingan nasional kita terganggu dengan perjanjian-perjanjian yang dibuat secara internasional, kita akan mengatakan kita tidak akan ikut dalam perjanjian tersebut,” pungkasnya.