Mahasiswa Diharapkan Tetap Kritis, Namun Tak Anarkis

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 4 Jun 2025, 19:30
thumbnail-author
Moh. Rizky
Penulis
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Editor
Bagikan
Diskusi publik yang digelar Constitutional Law Study Yogyakarta (CLS). Diskusi publik yang digelar Constitutional Law Study Yogyakarta (CLS).

Ntvnews.id, Jakarta - Diskusi publik bertema “Demokrasi Substantif dan Anarkisme Taktis: Dilema Etika dalam Aksi Mahasiswa” digelar pada Selasa, 3 Juni 2025 di Soeltan Cafe and Eatery, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Kegiatan tersebut digelar oleh Constitutional Law Study Yogyakarta (CLS) dan diikuti sekitar 40 peserta dari kalangan mahasiswa, aktivis, akademisi, serta perwakilan komunitas sipil di Yogyakarta.

Diskusi dipandu oleh moderator Elna Febi Astuti, yang dikenal sebagai aktivis perempuan dan pegiat HAM. Acara dibuka dengan sambutan dari Direktur CLS, Muhammad Faisal, yang juga bertindak sebagai opening speaker.

Faisal menyampaikan harapan agar diskusi ini dapat menjadi ruang kompatibel dan reflektif bagi mahasiswa dalam memaknai demokrasi dan gerakan sosial.

Tiga narasumber utama mengisi jalannya diskusi, yakni Yoyok Suryo selaku aktivis era '90-an, Handini yang merupakan dosen Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga dan Hanafi Saha dari HAM & Associates.

Menurut Yoyok Suryo, semangat perjuangan mahasiswa saat masa Orde Baru, ketika kebebasan berpendapat dibungkam oleh otoritarianisme negara dan gerakan gerakan mahasiswa dahulu dibangun atas kesadaran bersama, dengan strategi yang matang dan etika perjuangan yang kuat. Ia menilai, kondisi gerakan saat ini cenderung terfragmentasi dan kehilangan arah.

"Sehingga perlu dikembalikan pada substansi perjuangan, bukan pada aksi-aksi destruktif yang merusak citra mahasiswa itu sendiri," ujarnya.

Sementara Handini, menyampaikan pentingnya adaptasi gerakan mahasiswa dalam konteks digital. Menurutnya, media sosial menjadi medan baru perjuangan generasi Z, meskipun tantangan intimidasi masih hadir dalam bentuk yang lebih halus.

"Lemahnya ruang diskusi kritis di kampus hari ini dan pentingnya keterwakilan anak muda dalam politik," kata dia.

Adapun Hanafi Saha menyampaikan, bahwa ancaman terhadap demokrasi kini justru datang dari partai politik dan para elite yang tumbuh dari sistem demokrasi itu sendiri. Menurutnya, mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat sipil harus tetap menjadi kekuatan kritis. Namun ia mengingatkan, perjuangan mahasiswa tidak boleh larut dalam romantisme heroik atau tindakan instan yang merusak.

"Dimana gerakan, perlu dibangun secara kolektif, dengan jejaring kuat dan ideologi yang jelas, bukan melalui aksi anarkis yang merugikan banyak pihak," kata dia.

Hanafi pun mengajak mahasiswa agar menjaga marwah gerakan sebagai wadah aspirasi rakyat yang cerdas, terukur, dan bermartabat.

"Dalam demokrasi, suara kritis dibutuhkan, tetapi harus disampaikan dengan cara yang tetap menjunjung nilai hukum, etika, dan tanggung jawab sosial," kata dia.

Acara ditutup dengan penyerahan sertifikat kepada para narasumber oleh Muhammad Faisal. Ia berharap diskusi ini menjadi pemicu kesadaran baru di kalangan mahasiswa, bahwa kebebasan berekspresi harus berjalan beriringan dengan tanggung jawab sosial.

"Polarisasi gerakan mahasiswa harus kembali diarahkan pada substansi perjuangan, bukan sekadar simbolik. Kami ingin ini menjadi gerakan yang terus tumbuh, bukan hanya selesai di meja diskusi," ujarnya.

Adapun kegiatan ini dihadiri oleh berbagai organisasi kenegaraan, kemahasiswaan, dan komunitas aktivis di Yogyakarta, dengan narasumber yang memiliki latar belakang akademisi, praktisi hukum, serta aktivis lintas generasi.

CLS menegaskan pentingnya merawat demokrasi yang tidak hanya prosedural, tetapi juga substantif, yang memberi ruang bagi rakyat, khususnya mahasiswa, untuk tetap kritis, bebas, namun bertanggung jawab dan beretika serta menjauhkan dari segala bentuk anarkisme dalam menyuarakan perubahan.

x|close