Mantan Presiden Korsel Diduga Kirim Drone ke Negara Tetangganya

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 9 Jul 2025, 06:30
thumbnail-author
Deddy Setiawan
Penulis
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Editor
Bagikan
Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol secara resmi ditangkap pada Minggu (19/1/2025) dini hari atas tuduhan pemberontakan, menjadikannya presiden pertama dalam sejarah negara itu yang menghadapi penahanan saat masih menjabat, menurut laporan media lok Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol secara resmi ditangkap pada Minggu (19/1/2025) dini hari atas tuduhan pemberontakan, menjadikannya presiden pertama dalam sejarah negara itu yang menghadapi penahanan saat masih menjabat, menurut laporan media lok (Antara)

Ntvnews.id, Seoul - Media Korea Selatan melaporkan bahwa penyelidik berhasil mendapatkan rekaman suara komunikasi antara Presiden saat itu, Yoon Suk Yeol, dengan pihak militer mengenai dugaan pengiriman drone ke ibu kota Korea Utara. Insiden pelanggaran wilayah udara yang terjadi pada Oktober 2024 diyakini oleh sejumlah analis sebagai upaya memancing reaksi militer dari Korea Utara.

Jika Korea Utara merespons secara militer, Yoon diyakini akan menggunakan situasi tersebut untuk menetapkan status darurat nasional dan memberlakukan darurat militer — yang akhirnya dilakukan pada bulan Desember.

Yoon, yang kemudian diberhentikan dari jabatannya, kini didakwa secara pidana atas tuduhan pemberontakan akibat deklarasi darurat militer yang hanya berlangsung sebentar itu.

Apa motif di balik dugaan pengiriman drone ke Pyongyang oleh Yoon?

Dilansir dari DW, Rabu, 9 Juli 2025, Profesor Choo Jae-woo, seorang ahli kebijakan luar negeri dari Universitas Kyung Hee di Seoul, menyatakan bahwa "hanya ada dua alasan" yang sah bagi seorang presiden untuk memberlakukan keadaan darurat militer: agresi dari luar atau invasi.

"Nampaknya setelah memprovokasi Korea Utara, Yoon berharap akan ada serangan balasan dari Pyongyang, yang bisa digunakan sebagai dasar hukum untuk menyatakan darurat militer," ujarnya kepada DW.

Baca Juga: Eks Presiden Korsel Yoon Suk Yeol Jalani Sidang Perdana Kasus Darurat Militer

Namun, rencana itu tidak berjalan sesuai harapan karena Korea Utara tidak melancarkan serangan. Pyongyang memang menyampaikan protes keras, tetapi tidak mengambil tindakan militer.

Yoon mendeklarasikan keadaan darurat militer pada 3 Desember dengan alasan melindungi negara dari "komunis Korea Utara" dan "kekuatan antinegara." Namun, tidak ada bukti yang disampaikan untuk mendukung tuduhan tersebut.

Apa dampak dari tindakan Yoon?

Upaya Yoon yang penuh kontroversi untuk menggunakan kekuatan militer demi mengambil alih pemerintahan hanya bertahan beberapa jam. Ia segera menghadapi pemakzulan, diskors selama 10 hari, dan akhirnya ditangkap pada bulan Januari.

Tuduhan pemberontakan yang ia hadapi bisa berujung pada hukuman penjara seumur hidup atau bahkan hukuman mati walaupun Korea Selatan telah lama tidak menerapkan hukuman mati.

Yoon, yang dibebaskan dengan jaminan pada Maret, menyangkal semua tuduhan. Ia menyatakan bahwa "darurat militer bukanlah kudeta," serta menyebut deklarasinya sebagai "pesan damai" untuk menunjukkan maksud dari oposisi terhadap pemerintah.

Pada akhir pekan lalu, Yoon kembali diperiksa di Seoul, dan satu hari setelahnya, jaksa khusus mengajukan permintaan penangkapan kembali atas tuduhan penyalahgunaan wewenang, pemalsuan dokumen resmi, pelanggaran hukum keamanan presiden, dan menghalangi tugas pejabat negara.

Baca Juga: 45 Massa Pendukung Yoon Suk Yeol yang Serbu Ruang Sidang Ditangkap Polisi

Media Korea Selatan melaporkan bahwa sidang untuk meninjau permintaan penangkapan dijadwalkan berlangsung pada Rabu, 9 Juli 2025, dan Yoon diperkirakan hadir langsung untuk memberikan pembelaan.

Pihak berwenang menyebut tuduhan makar, termasuk pengiriman drone ke Korea Utara, masih dalam penyelidikan dan belum dimasukkan dalam dakwaan resmi, meskipun kemungkinan dapat ditambahkan di kemudian hari.

Bagaimana peristiwa ini bermula?

Pada Oktober 2024, terdapat laporan mengenai keberadaan drone di atas wilayah Pyongyang  yang berada sekitar 210 kilometer dari Zona Demiliterisasi (DMZ)  dalam tiga kejadian terpisah.

Korea Utara merilis gambar yang diklaim sebagai drone tersebut dan menyatakan telah menembak jatuh salah satunya yang menjatuhkan selebaran propaganda.

Awalnya, Kementerian Pertahanan Korea Selatan membantah klaim tersebut, tetapi kemudian menyatakan tidak bisa mengonfirmasi atau menyangkal.

Korea Utara mengecam keras insiden itu dan menyatakan bahwa insiden tersebut bisa dikategorikan sebagai "serangan militer", meski mereka tidak melakukan pembalasan militer.

Tim investigasi khusus yang menyelidiki tindakan Yoon menemukan rekaman suara dari seorang perwira senior Komando Operasi Drone yang menyatakan bahwa komandannya menerima perintah langsung dari "V"  kode militer untuk Presiden yang sedang menjabat, menurut laporan JoongAng Daily pada 3 Juli.

Investigasi selanjutnya menemukan bahwa dua drone pengintai dilaporkan hilang di dekat perbatasan Korea pada bulan Oktober tahun lalu. Kementerian Pertahanan Korea Selatan menyebut alasan hilangnya drone tersebut sebagai "tidak diketahui".

x|close