Ntvnews.id, Jakarta - Berlangsung selama lima tahun, 1825-1830, Perang Jawa mengubah Jawa menjadi medan pertarungan antara martabat dan penindasan, antara kearifan lokal dan keserakahan kolonial.
Demikian disampaikan Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sekaligus Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwana Ka 10, dalam pidato kebudayaannya pada acara puncak Peringatan 200 Tahun Perang Jawa yang diselenggarakan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) di Jakarta, pada Jumat, 25 Juli 2025.
“Pangeran Diponegoro “sang pangeran-pandhita”, tampil bagai surya di tengah kegelapan, sebagai jiwa penggerak yang menyatukan rakyat dalam satu tekad: melawan,” ujarnya.
Kepemimpinan Diponegoro mencerminkan konsep Manunggaling Kawula-Gusti, yakni kesatuan antara rakyat dan pemimpin. Begitulah sejatinya hubungan ideal pemimpin dan yang dipimpin, resiprokal atau timbal balik yakni saling memberi dan menerima dalam kebersamaan tujuan.
Dalam pidato kuncinya, Kepala Perpusnas, E. Aminudin Aziz, menyampaikan untuk mengusung semangat perjuangan dalam Perang Jawa, Perpusnas memilih tajuk “Martabat” sebagai tema utama Peringatan 200 Tahun Perang Jawa.
“Hakikat martabat inilah yang ingin kami wujudkan dalam kiprah Perpusnas yang diberi mandat untuk membangun kecakapan literasi melalui penguatan budaya baca, merawat bahan pustaka warisan bangsa, dan membina perpustakaan se-Indonesia Raya. Itulah hakikat visi baru kami Perpustakaan Hadir Demi Martabat Bangsa,” urainya.
Lebih lanjut, Kepala Perpusnas, memaparkan bahwa UNESCO menamakan lembaga museum, perpustakaan, arsip, pusat dokumentasi, situs, dan galeri sebagai Memory Institutions atau Lembaga (pengelola) Ingatan.
“Dalam rangka merawat ingatan kolektif bangsa tersebut, Perpusnas mencanangkan program Pemajuan Naskah Nusantara. Sebuah gagasan yang diwujudkan dalam langkah nyata yakni berupa praktik yang lebih maju daripada pengelolaan naskah sebagaimana biasanya,” terangnya.
Adapun tiga hal penting untuk menyokong suksesnya program ini adalah upaya sistematis dan terukur untuk mengisi ruang-ruang publik dengan isu pernaskahan, memungkinkan adanya akses seluasnya dan peluang penciptaan karya-karya kreatif berbasis naskah, serta memperkuat ekosistem pernaskahan melalui kemitraan dan advokasi.
Sementara itu, dalam sesi gelar wicara dengan tajuk Demi Martabat Bangsa “Refleksi Peristiwa Perang Jawa bagi Indonesia Maju”, sejarawan asal Inggris, Peter Carey, menjelaskan Pangeran Diponegoro merupakan seorang bangsawan yang mau bahu membahu bersama rakyatnya dan mendengarkan suara rakyat kecil.
Diponegoro, lanjut Peter, memiliki integritas tinggi dan tidak kenal kompromi, serta memahami bahwa memegang tanggung jawab politik bukan kesempatan tapi amanah dan keprihatinan.
“On the rise and fall of a country, everyone has a responsibility, self, and family may be sacrificed but between right and wrong there can be no compromise. Hal tersebut yang dijiwai oleh seorang Diponegoro, integritas yang tinggi dan tidak kenal kompromi,” urai penulis biografi monumental Pangeran Diponegoro ini.
Sementara itu, generasi ketujuh dari Pangeran Diponegoro, Roni Sadewo, menegaskan bahwa perjuangan Diponegoro bukan semata-mata perang militer. Tetapi, perjuangan tersebut merupakan bentuk perlawanan demi mempertahankan martabat bangsa.
"Perang bukanlah hal yang disukai oleh Pangeran Diponegoro. Dalam babad yang ditulis di masa pengasingan, sangat jelas bahwa beliau ingin menjaga martabat dan menjalankan perintah agama dengan benar," jelasnya.
Menurutnya, warisan terbesar dari Diponegoro bukan hanya jejak perangnya, melainkan nilai-nilai kejujuran, keberanian, ketegasan, dan kebijaksanaan yang diajarkan lewat tulisan dan keteladanan hidupnya.
Peneliti manuskrip Islam Nusantara, Ahmad Ginanjar Sya’ban, membenarkan hal ini. Ia menguraikan, sisi terpenting dalam kehidupan Pangeran Diponegoro yang banyak mempengaruhi karakter dan jati diri Sang Pangeran, tetapi pada masa sekarang kerap kali terlupakan adalah sisi keulamaan dan kesantrian.
“Salah satu literatur yang menjadi bacaan favorit Sang Pangeran dan membentuk karakter beliau itu satu buah karya yang berjudul al-Tuhfah al-Mursalah karya sufi agung dari Gujarat, Al-Burhanpuri dan isi ajarannya adalah mengenai Martabat Tujuh,” jelasnya.
Dosen Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta, Eka Ningtyas, dalam paparannya mengatakan ketokohan Diponegoro telah mengalami transformasi dari simbol perlawanan lokal Jawa menjadi tokoh nasional yang relevan hingga saat ini. Ia menyebutkan bahwa semangat Diponegoro kini telah menjadi warisan seluruh bangsa Indonesia.
“Spirit perjuangan Diponegoro bukan sekadar warisan bagi orang Jawa, tapi bekal kepemimpinan bangsa Indonesia hari ini agar menjadi bangsa yang kuat,” terangnya.
Dalam kegiatan gelar wicara, diumumkan juga Pemenang Lomba Poster Digital 200 Tahun Perang Jawa dan Pemenang Lomba Esai 200 Tahun Perang Jawa yang diselenggarakan Perpusnas.