Ntvnews.id, Jakarta - Penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia kembali menjadi sorotan, terutama setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penyidikan terkait dugaan korupsi pembagian kuota haji tahun 2023-2024 di Kementerian Agama.
Pengusaha Biro Perjalanan haji dan umrah, Maktour, Fuad Hasan Masyur rampung memberikan keterangan kepada penyidik KPK. Ia menjelaskan bahwa pemeriksaan tersebut berkaitan dengan pembagian kuota haji tambahan yang diberikan pemerintah Arab Saudi. Masyur menegaskan komitmen Maktour untuk menjaga integritas pelayanan. "Insya Allah sebagai pelayan tamu Allah, Maktour selama 41 tahun, mempunyai integritas, menjaga terus," kata Fuad di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta melalui siaran pers kepada ntvnews.id.
Fuad menambahkan, pada 2024 Indonesia mendapatkan tambahan kuota haji sebanyak 20.000 jemaah yang diberikan pemerintah Arab Saudi. Menurutnya pemberian ini harus dijaga karena memiliki tujuan yang baik. "Tambahan kuota ini memang kita jaga baikbaik, karena ini menyangkut dua negara. Hadiah yang diberikan oleh pemerintah Saudi tujuannya sangat baik," Kata Fuad.
Fuad mengatakan dari kuota tersebut, Maktour mendapatkan porsi kuota haji khusus dengan jumlah kecil dan terbatas. Ia ingin meluruskan hal ini, mengingat polemik yang kerap muncul seputar pembagian kuota haji di kalangan swasta. "Jadi, tidak ada bilang sampai ribuan. Enggak, ya," ujarnya.
Peran Vital Swasta dalam Sejarah Haji Indonesia Peran swasta dalam penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia bukanlah hal baru. Sejak masa kolonial, perusahaan dan yayasan swasta sudah terlibat dalam melayani jemaah. Meskipun sempat dihapus, peran ini kembali diakui pada era Orde Baru dengan diperkenalkannya sistem ONH Plus pada tahun 1987. Sistem ini menjadi sub-sistem dari penyelenggaraan haji oleh pemerintah, di mana biaya, kuota, dan aturannya tetap diatur oleh Pemerintah.
Pengakuan resmi terhadap peran swasta ini semakin kuat pada masa Presiden B.J. Habibie, dengan disahkannya Undang-undang No. 17 Tahun 1999. Undang-undang ini secara sah mengakui penyelenggaraan haji khusus oleh pihak swasta. Langkah ini dianggap strategis karena memberikan alternatif bagi masyarakat untuk menunaikan ibadah haji tanpa harus menunggu antrean yang panjang. Antrean haji reguler di Indonesia bisa mencapai belasan hingga puluhan tahun, bahkan ada yang sampai 47 tahun.
Sementara itu, haji khusus dapat memangkas waktu tunggu menjadi 5 hingga 9 tahun. Pandangan bahwa haji khusus mencerminkan ketidakadilan dianggap keliru. Ibadah haji memang diperuntukkan bagi mereka yang memiliki Istitha'ah, yaitu kemampuan dan kesiapan fisik, mental, finansial, dan keamanan. Biaya perjalanan haji khusus yang ditanggung penuh oleh jemaah sejalan dengan konsep ini.
Lebih dari sekadar memenuhi kebutuhan jemaah, haji khusus juga memainkan peran penting dalam ekosistem ekonomi. Alokasi kuota haji khusus dapat membantu menopang dana haji secara keseluruhan dan berpotensi menjadi penggerak ekonomi umat, menciptakan lapangan kerja, dan mendukung industri pariwisata Islami di Indonesia.
Kondisi Indonesia Dibandingkan Negara Lain
Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, alokasi kuota haji untuk swasta di Indonesia masih tergolong kecil. Data dari Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri) menunjukkan bahwa di Turki mengalokasikan 60% dari total 80 ribu kuota haji ke pihak swasta. Di Pakistan, 50% dari 179 ribu kuota haji dikelola swasta. Bahkan di Malaysia, porsi swasta mencapai 20%. Sementara, di Indonesia, dari 210 ribu kuota haji pada 2025, pemerintah hanya memberikan 8% kepada pihak swasta.