Ntvnews.id, Jakarta - Pengelolaan haji sebagai ibadah yang berdimensi spiritual, sosial, dan politik merupakan tanggung jawab negara dalam menjamin kebebasan beragama sebagaimana dijamin dalam Pasal 29 UUD 1945.
Dalam konteks ini, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (UU PIHU) hadir sebagai instrumen hukum yang memastikan tata kelola kuota haji berjalan adil, transparan, dan akuntabel.
Menanggapi perdebatan seputar kewenangan Menteri Agama (Menag) RI dalam pembagian kuota haji, pakar hukum Prof. Rudy memberikan analisis normatif dan konstitusional.
“Kewenangan Menteri Agama dalam menetapkan kuota tambahan bersifat atribusi, diberikan langsung oleh undang-undang, sehingga bukan merupakan perbuatan melawan hukum. Kuota tambahan sebagaimana diatur Pasal 9 UU PIHU berdiri sendiri, bersifat dinamis, dan dapat dikelola secara fleksibel sepanjang berlandaskan prinsip keadilan, proporsionalitas, dan kepentingan umum,” kata Guru Besar Ilmu Hukum termuda di Unila ini, Kamis, 25 September 2025.
Prof. Rudy menjelaskan, pokok analisisnya mendasarkan pada beberapa pertimbangan. Pertama, Pasal 8 UU PIHU-Kuota Dasar; Memberikan kewenangan kepada Menteri Agama untuk menetapkan kuota haji Indonesia setiap tahun, yang terbagi menjadi haji reguler dan haji khusus.
Kemudian Pasal 9 UU PIHU-Kuota Tambahan; Ayat (1) menegaskan kewenangan atribusi Menteri untuk menetapkan tambahan kuota yang diberikan Arab Saudi.
Ayat (2) memberi ruang pengaturan teknis melalui Peraturan Menteri, dengan tetap menjunjung asas transparansi dan keadilan.
"Pasal ini memadukan beschikking (penetapan konkret) dan regeling (pengaturan normatif)," ujarnya.
Dia juga menekankan bahwa pengaturan kuota haji dalam UU No. 8 Tahun 2019 adalah refleksi konstitusionalisme Indonesia, menyeimbangkan keterbatasan eksternal (kuota dari Arab Saudi) dengan kebutuhan internal (hak warga negara).
Kemudian, pada Pasal 64 UU PIHU-Kuota Haji Khusus; Menetapkan alokasi rigid sebesar 8 persen dari kuota dasar bagi haji khusus. Norma ini, kata Prof Rudi, menjamin distributive justice tanpa mengganggu fleksibilitas kuota tambahan.
Kesimpulannya, kata Rudy, tiga pasal utama dalam UU PIHU membentuk kerangka normatif yang saling melengkapi: Pasal 8 menghadirkan kepastian hukum dalam penetapan kuota dasar.
Pasal 9 memberikan ruang adaptif untuk tambahan kuota. Pasal 64 menjamin keadilan distributif dengan mengunci proporsi haji khusus.
“Dengan konstruksi hukum ini, kebijakan Menteri Agama terkait penetapan kuota tambahan tidak dapat disebut melawan hukum. Yang terpenting adalah memastikan keselamatan, kenyamanan, serta hak jamaah tetap menjadi prioritas utama dalam penyelenggaraan ibadah haji,” imbuhnya.
Karena itu, ia menilai, sebagai kewenangan atribusi kewenangan mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam menetapkan kuota tambahan adalah sesuai hukum dan bukan merupakan perbuatan melawan hukum.