Ntvnews.id, Jakarta - Bila sepak bola punya treble winner, dunia pacuan kuda punya gelar yang lebih sulit yakni Triple Crown. Status ini bukan soal tiga kemenangan beruntun. Triple Crown adalah mahkota langka yang hanya dikenakan oleh kuda-kuda dan joki terbaik di dunia.
Mahkota yang hanya bisa dikenakan kuda-kuda terbaik yang pernah menginjak lintasan, ditunggangi joki-joki dengan intuisi luar biasa, dan dipoles timpelatih dengan nyali besar, serta presisi strategi tingkat tinggi. Triple Crown adalah istilah untuk menyebut tiga balapan besardalam satu musim, yang harus dimenangkan oleh seekor kudapacu berusia tiga tahun.
Baca juga: Pembangunan Fasilitas Pacuan Kuda Pulomas Diharapkan Selesai 2027
Karena itulah, seekor kuda hanya punya satu peluang seumurhidup untuk mengejarnya. Tidak bisa memperoleh lebih cepat, tidak juga ada musim kedua atau ulangan. Kesempatan itudatang hanya sekali dan pergi secepat garis finis.
Meraih Triple Crown sangat sulit. Pertama, karena jarakberbeda, setiap balapan punya jarak tempuh berbeda. Artinya, kuda harus punya kecepatan sekaligus daya tahan.
Kedua, waktu pemulihan singkat. Balapan biasanya digelar dalam rentang waktu relatif dekat. Pemulihan fisik jadi tantangan besar. Lalu persaingan ketat. Semua kuda terbaikusia 3 tahun ikut serta. Tidak ada lawan mudah.
Dan tidak lupa faktor eksternal, seperti cuaca, trek, start buruk, hingga tekanan media bisa memengaruhi performa.
Tidak mengherankan jika dalam sejarah panjang pacuan kudadi seluruh dunia, hanya segelintir yang berhasil mengunci tigakemenangan dan menyematkan gelar Triple Crown Champion di namanya.
Triple Crown di Beberapa Negara
Konsep Triple Crown hadir di berbagai belahan dunia sebagai simbol supremasi pacuan kuda.
Di Amerika Serikat, hanya kudayang mampu menaklukkan tiga balapan legendaris: Kentucky Derby (1.600 meter), Preakness Stakes (1.900 meter), dan Belmont Stakes (2.400 meter), dalam rentang waktu dua bulan, yang berhak menyandang gelar bergengsi ini.
Dalam sejarah satu setengah abad Triple Crown Amerika Serikat, hanya 13 kuda yang berhasil mencatatkan namanya sebagai juara sejati. Terakhir kali diraih Justify pada 2018, menyusul keberhasilan American Pharoah tiga tahunsebelumnya di 2015, yang mengakhiri masa penantian selamahampir 40 tahun setelah peraih gelar terakhir.
Inggris adalah tempat kelahiran pacuan kuda modern, namun di sinilah pula Triple Crown seperti 'mitos'. Tiga balapan yang harus dimenangkan adalah: 2000 Guineas Stakes (1.600 meter), The Derby (2.400 meter), St. Leger Stakes (2.900 meter).
Tantangan utamanya bukan hanya soal jarak yang makinpanjang, tapi juga karena standar kualitas yang luar biasa tinggi. Hingga kini, hanya 15 kuda yang pernah sukses menyapu bersih ketiganya. Nijinsky adalah nama terakhir dalamdaftar itu, sejak tahun 1970.
Sejak saat itu, banyak yang nyaris, tapi tak satupun bisa menuntaskan. Yang paling dramatis mungkin adalah Camelot pada 2012, gagal di langkah terakhir St. Leger dan membuat publik Inggris menelan kekecewaan.
Triple Crown Indonesia
Triple Crown di Indonesia, meski berbeda rute, namun semangatnya sama: tiga seri balapan berjenjang, yang masing-masing menuntut keunggulan berbeda. Seri I di bulan April (1.200 meter), Seri II di bulan Mei (1.600 meter), dan klimaksnya: Indonesia Derby di bulan Juli sejauh 2.000 meter.
Sepanjang sejarah PORDASI, baru dua kuda saja yang meraih gelar Triple Crown, yaitu kuda Manik Trisula pada 2002 dan kuda Djohar Manik pada 2014. Dan sejak itu, satu dekade lebih, mahkota itu hanya indah dikenang, namun sulit diulang.
Sejarah mencatat setidaknya tujuh kuda yang nyarismenyentuh Triple Crown namun gagal. Ada yang gagal di leg terakhir seperti King Master (2006), King Runny Star (2015), Nara Asmara (2016) dan Queen Thalassa (2019).
Ada juga yang menang di 2 laga terakhir namun sayangnya gagal di leg pertama seperti Pesona Nagari (2008) dan Bintang Maja (2023). Sementara, Lady Aria (2018) memenangkan leg pertama dan Derby, tapi hanya mampu finis kedua di leg kedua.
"Dari situ kita lihat, begitu sulit meraih Triple Crown Indonesia," ujar Ketua Komisi Pacu PP PORDASI, Ir. H. Munawir.
Triple Crown, sambung Munawair, menuntut daya tahan luarbiasa kuda, konsistensi tak tergoyahkan, strategi cermat, dan kesiapan menghadapi tantangan cuaca, cedera, bahkanfluktuasi psikologis seekor kuda.
Munawir menjelaskan Triple Crown Indonesia dirancangmenyesuaikan karakter dan daya tahan kuda lokal. Derby tidakdibuat 2.400 meter seperti luar negeri agar tidak membebaniatau mencederai kuda.
"Realistis saja. Karena kuda-kuda di sini belum kuat jaraknyasepanjang itu," ucap Munawir.
Adapun kriteria peserta Triple Crown Indonesia sama dengannegara lain kebanyakan, yakni kuda umur 3 tahun. "Artinya seekor kuda hanya punya satu kali peluang seumur hidup untuk menjadi juara Triple Crown," imbuhnya.
Di Ambang Pintu Sejarah Baru
Kini olahraga pacuan kuda di Indonesia ada di ambang pintu terciptanya sejarah baru Triple Crown.
Setelah Indonesia’s Horse Racing (IHR)–Triple Crown Serie 1 pada April dan IHR–Triple Crown Serie 2 pada Mei lalu, rangkaian perebutan gelar Triple Crown 2025 di Indonesia tinggal menyisakan satu lagi kejuaraan yaitu IHR–Kejurnas Serie 1 Indonesia Derby atau IHR–Indonesia Derby pada 27 Juli mendatang.
Kuda King Argentine yang telah memenangkan Kelas 3 TahunDerby di IHR–Triple Crown Serie 1 dan IHR–Triple Crown Serie 2 lalu, menghidupkan peluang menjadi kuda ketiga peraih gelar Triple Crown di Indonesia jika bisa memenangkan Kelas 3 Tahun Derby di IHR-Indonesia Derby.
Selangkah lagi, dan kita berharap dapat melihat terukirnya sejarah baru di Indonesia.
Triple Crown bukan sekadar tiga kemenangan. Ia adalah ujian kesempurnaan tentang ketangguhan fisik, kecepatan yang konsisten, strategi matang, dan keberuntungan yang berpihak.
Banyak yang mencoba, hanya sedikit yang berhasil, sejarah di seluruh dunia telah membuktikan. Kini, Indonesia menanti apakah 27 Juli nanti mahkota itu akan kembali menemukan tuannya.