Ntvnews.id, Jakarta - Industri tembakau kembali mendapat perhatian publik setelah pemerintah memutuskan tidak akan menaikkan pajak pada tahun 2026. Keputusan ini dianggap sebagai langkah positif oleh pekerja dan anggota DPR, karena dinilai dapat meredakan tekanan terhadap industri.
Meski begitu, mereka menegaskan bahwa kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) juga perlu diperhatikan secara serius agar dapat menjaga lapangan kerja sekaligus menekan peredaran rokok ilegal yang semakin marak.
Purnomo, Pimpinan Daerah Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman (FSP RTMM) Jawa Timur, menyambut baik sikap pemerintah tersebut.
“Kami melihat kebijakan tidak naiknya pajak di 2026 sebagai bentuk respons positif dari pemerintah setelah mendengar suara dari rakyat. Aksi di 107 titik kemarin jelas menunjukkan keresahan rakyat kecil, termasuk pekerja dan petani,” ujar Purnomo dalam keterangannya, Selasa, 23 September 2025.
Ia menekankan bahwa hal serupa juga perlu diterapkan dalam kebijakan cukai tembakau.
“Menurut kami, moratorium (penundaan kenaikan) cukai rokok selama tiga tahun ke depan adalah langkah paling realistis dan adil untuk situasi sekarang. Dengan moratorium, ada kepastian untuk pekerja bisa tetap bekerja dan industri bisa menjaga keberlangsungan,” jelasnya.
Baca Juga: Saham Emiten Rokok Melesat Usai Menkeu Purbaya Singgung Kebijakan Cukai
Lebih lanjut, Purnomo menegaskan bahwa moratorium bukan sekadar keuntungan bagi perusahaan, melainkan perlindungan bagi keluarga yang bergantung pada sektor ini. “Kebijakan ini bukan soal memberi ‘keringanan’ pada industri tembakau, tapi soal melindungi jutaan keluarga yang menggantungkan hidup pada sektor ini,” tegasnya.
Dari sisi parlemen, Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Harris Turino, juga menyoroti kesulitan yang tengah dialami industri tembakau. Ia mengingatkan bahwa kenaikan CHT secara agresif akan semakin memberatkan, terutama bagi pabrik-pabrik yang berjuang untuk tetap beroperasi.
“Paling tidak kan kelihatan pabrik-pabrik rokok besar kesulitan kalau terjadi kenaikan cukai di tahun depan, apalagi kalau kenaikannya sifatnya adalah agresif,” ujar Harris dalam Rapat Kerja bersama Kementerian Keuangan.
Menurut Harris, bahkan kenaikan sebesar 10% saja sudah menimbulkan beban berat.
“Sehingga kalau dinaikkan 10% berarti dari Rp1.760 (harga rokok per batang plus cukai) menjadi Rp840 tambahannya, enggak ada lagi ruang bagi perusahaan-perusahaan untuk sekedar menutup biaya produksinya,” jelasnya.
Baca Juga: Purbaya Tegaskan Pemberantasan Rokok Ilegal di E-Commerce hingga Warung Kelontong
Ia pun menegaskan bahwa Komisi XI mendorong agar pemerintah tidak menaikkan tarif CHT, dan lebih fokus menekan peredaran rokok ilegal.
“Caranya bagaimana? Yang jelas seperti teman-teman katakan pemberantasan rokok ilegal, kalau ini bisa diberantas pasti kenaikannya (penerimaan cukai) luar biasa pak,” imbuhnya.
Di tengah desakan agar pemerintah menahan kenaikan cukai rokok untuk periode 2026–2029, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menilai struktur tarif yang berlaku saat ini memang sudah memberatkan. Menurutnya, tarif tinggi tidak hanya menekan industri, tetapi juga ekosistem pendukungnya, sekaligus memengaruhi kontribusi terhadap penerimaan negara.
“Ada cara mengambil kebijakan yang agak aneh untuk saya. Saya tanya kan, cukai rokok gimana, sekarang berapa? rata-rata 57%, tinggi amat, banyak banget," kata Purbaya.
Dorongan terhadap moratorium kenaikan cukai bukan hanya mencerminkan kepentingan industri, tetapi juga menyangkut nasib jutaan tenaga kerja. Industri tembakau sendiri menyerap sekitar 6 juta pekerja, baik langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, kebijakan fiskal mendatang diharapkan dapat menyeimbangkan kebutuhan penerimaan negara dengan perlindungan terhadap sektor padat karya ini.