Ntvnews.id, Jakarta - Rencana penerapan kemasan rokok tanpa merek atau plain packaging yang diusulkan oleh Kementerian Kesehatan masih memicu kekhawatiran di berbagai kalangan. Kebijakan ini dirancang masuk dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), sebagai aturan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.
Penerapan plain packaging dianggap bukan sekadar ancaman bagi keberlangsungan industri hasil tembakau, tetapi juga dinilai membuka peluang lebih besar bagi maraknya rokok ilegal. Selain itu, kebijakan ini disebut berpotensi menggerus kedaulatan nasional dalam menentukan arah kebijakan domestik.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana, mengkritik keras rencana ini. Ia menilai bahwa penghapusan identitas merek pada kemasan rokok akan menghilangkan keunggulan kompetitif industri rokok legal yang selama ini menjadikan kemasan sebagai bagian penting dari strategi pemasaran.
“Bagi industri yang katakanlah mempunyai keunggulan untuk rokoknya itu punya karakter gitu ya. Bukannya tidak mungkin mereka berkompetisi melakukan persaingan melalui cover atau bungkus dari rokok tersebut. Nah, kalau misalnya ini semua plain, coba bisa dibayangkan mereka tidak akan bisa bersaing,” ungkap Hikmahanto dalam keterangannya, Senin, 2 Juni 2025.
Baca Juga: Dihantam Tarif Trump, Neraca Dagang RI-AS Masih Surplus 1,12 Miliar Dolar AS
Tak hanya itu, Prof. Hikmahanto juga menyoroti potensi meningkatnya peredaran rokok ilegal sebagai dampak langsung dari kebijakan ini. Ia menilai bahwa keseragaman kemasan akan mempersulit upaya identifikasi antara produk legal dan ilegal, sehingga memperbesar peluang distribusi rokok tanpa izin.
“Lalu yang kita khawatirkan apa lagi? Banyak rokok-rokok ilegal yang akan masuk. Dan kalau misalnya rokok-rokok ilegal itu masuk, baik itu yang dalam negeri ya, maupun dari luar negeri, itu artinya apa? Pendapatan negara melalui cukai juga akan turun. Sudah bisa dibayangkan seperti itu,” katanya.
Faktanya, peredaran rokok ilegal memang menunjukkan peningkatan tajam. Pada 2023, jumlah rokok ilegal yang berhasil diamankan mencapai 253,7 juta batang. Angka tersebut melonjak drastis pada 2024, menjadi 710 juta batang. Padahal, industri hasil tembakau memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan negara, yakni Rp216,9 triliun atau 72 persen dari total penerimaan kepabeanan dan cukai tahun ini.
Prof. Hikmahanto juga menyoroti indikasi bahwa wacana plain packaging merupakan implementasi tidak langsung dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), meskipun Indonesia belum meratifikasi perjanjian internasional tersebut. Ia menegaskan pentingnya mempertahankan kemandirian dalam perumusan kebijakan dalam negeri.
Baca Juga: Polisi Bongkar Kasus Penipuan Dukun Palsu Pengganda Uang
“Jangan sampai kemudian Indonesia bisa diatur. Sekali lagi yang saya harus tegaskan bahwa pemerintah kita punya kedaulatan. Pemerintah kita harus tahu apa yang dibutuhkan oleh industri, oleh masyarakat, oleh kepentingan kita di Indonesia tanpa ada intervensi asing,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa kolonialisme di era modern tidak lagi hadir dalam bentuk kekuatan militer, melainkan melalui tekanan kebijakan dan instrumen hukum internasional yang dapat membatasi ruang gerak kebijakan negara.
Sebagai langkah alternatif, Prof. Hikmahanto menyarankan pemerintah fokus pada pendekatan edukatif untuk mengendalikan konsumsi rokok, bukan dengan kebijakan yang berpotensi melumpuhkan sektor industri nasional.
Baca Juga: Sri Mulyani Putuskan ASN Tak Dapat Uang Saku Rapat Hingga Biaya Komunikasi Mulai Tahun Depan
“Silakan memberikan penyuluhan-penyuluhan bagi mereka yang mau berhenti merokok. Silakan itu dilakukan. Tapi jangan kemudian itu tidak dilakukan kemudian mematikan industri perkebunan tembakau, kemudian juga mematikan industri rokok,” ujarnya.
Di sisi lain, Wakil Menteri Perindustrian RI Faisol Riza memastikan bahwa wacana plain packaging tersebut telah dibatalkan. Ia menegaskan bahwa telah tercapai kesepakatan antara Kementerian Perindustrian dan Kementerian Kesehatan untuk tidak melanjutkan rencana tersebut.
“Untuk isu-isu kesehatan memang kita harus dukung. Untuk tujuan menjadikan masyarakat kita lebih sehat, itu kita dukung. Tetapi Kementerian Perindustrian (Kemenperin) juga memahami kepentingan industri, ketika kita sampaikan bahwa janganlah itu diseragamkan karena industri meminta untuk tidak ada isu yang semakin menekan industri,” jelas Faisol.