Ntvnews.id, Jakarta - Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang mengatur peredaran produk tembakau menuai sorotan dari sejumlah kalangan akademisi dan ekonom. Regulasi tersebut dinilai berpotensi menekan industri nasional dan memunculkan dugaan bahwa aturan tersebut mengadopsi agenda asing, yang disebut-sebut belum sah secara hukum di Indonesia.
Salah satu isu yang mencuat adalah dugaan penggunaan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) sebagai rujukan dalam penyusunan PP tersebut. Padahal, Indonesia hingga saat ini belum meratifikasi konvensi internasional tersebut.
“FCTC itu sampai detik ini itu tidak diratifikasi oleh Indonesia. Sehingga secara konsepsi peraturan perundang-undangan itu tidak boleh dijadikan rujukan. Bahasa agamanya itu ya haram untuk dijadikan rujukan,” ujar Ali Rido, pakar hukum dari Universitas Trisakti dalam keterangannya, Selasa, 1 Juli 2025.
Ali menekankan bahwa dalam sistem hukum nasional, sumber sah dalam pembentukan regulasi adalah Pancasila, UUD 1945, dan Undang-Undang. Karena itu, menurutnya, menjadikan FCTC sebagai acuan dalam penyusunan PP 28/2024 mencerminkan kecenderungan untuk mengadopsi kepentingan asing yang tidak selaras dengan prinsip kedaulatan hukum nasional.
Baca Juga: Sri Mulyani Sebut RI Butuh Investasi Rp7.500 Triliun untuk Ekonomi Tumbuh Tinggi di 2026
Ia pun mengusulkan dua jalur hukum yang bisa ditempuh untuk membatalkan atau merevisi peraturan ini.
“Satu melalui executive review. Dalam hal ini karena PP 28/2024 itu dibentuknya oleh eksekutif. Yang kedua, melalui judicial review, dan ini memang harus ada yang merasa dirugikan,” jelasnya.
Selain itu, Ali menekankan pentingnya pelibatan publik secara bermakna dalam proses pembentukan kebijakan.
“Meaningful participation ini ‘kan melibatkan stakeholder yang terdampak. Dengan kata lain pihak asing itu yang tidak terdampak sehingga tidak perlu dilibatkan juga,” tegasnya.
Baca Juga: Sri Mulyani Buka-bukaan Realisasi Anggaran Makan Bergizi Gratis Capai Rp5 Triliun
Ia menambahkan bahwa transparansi dan akuntabilitas dalam proses legislasi diperlukan agar regulasi yang dihasilkan benar-benar mencerminkan kepentingan nasional, bukan agenda luar.
Dari perspektif ekonomi, kebijakan ini juga dinilai menimbulkan tantangan tersendiri. Peneliti Senior Departemen Ekonomi di Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Deni Friawan, menyatakan bahwa meskipun kebijakan tersebut bertujuan untuk melindungi kesehatan, pemerintah belum menyiapkan mitigasi ekonomi yang memadai bagi sektor terdampak.
“Belum lagi dengan adanya kenaikan cukai rokok, dan membuat masyarakat mensiasati hal ini dan beralih ke rokok ilegal. Ini yang jadi masalah,” kata Deni.
Ia menambahkan bahwa tekanan terhadap industri hasil tembakau, terutama usaha kecil dan menengah, semakin besar seiring pembatasan produksi dan perubahan kebijakan fiskal yang cepat. Menurutnya, arah kebijakan pemerintah memang fokus pada aspek kesehatan, namun perlu diimbangi dengan perlindungan terhadap para pelaku usaha yang terdampak langsung.