Ntvnews.id, Jakarta - Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Fahri Hamzah, menyatakan bahwa pembangunan hunian vertikal atau vertical housing menjadi komponen utama dalam penyediaan perumahan di wilayah perkotaan. Menurutnya, pendekatan ini penting karena keterbatasan lahan di kota-kota besar di Indonesia.
"Inti dari urban atau perkotaan itu adalah vertical housing. Negara harus menggunakan instrumen yang dimilikinya termasuk kebijakan pertanahan agar bisa menyulap kawasan-kawasan yang slump, polluted, sprawl, dan sebagainya itu itu menjadi tempat-tempat yang bagus karena semuanya dipindahkan ke atas," ujar Fahri saat berbicara di Jakarta, Kamis.
Fahri menegaskan bahwa inisiatif pembangunan hunian vertikal di kota-kota tidak bisa hanya bergantung pada pemerintah. Peran sektor swasta sangat penting dalam implementasinya.
"Ini sepenuhnya private masuk. Pemerintah ini hanya memberikan kebijakan, dan nanti di antara kebijakan yang kita mau bikin itu adalah adanya lembaga off-taker. Kita lagi berbicara dengan Danantara," jelasnya.
Ia menambahkan, kehadiran lembaga off-taker diharapkan dapat mempermudah proses pemasaran hunian vertikal kepada masyarakat, sehingga pengembang bisa lebih fokus dalam membangun.
"Supaya pengembang tidak perlu memasarkan. Mengapa mesti memasarkan? Orang pasarnya 10 juta mengantre untuk mendapatkan rumah," katanya.
Lebih jauh, Fahri menyebut bahwa perumahan sosial atau social housing dalam bentuk hunian vertikal merupakan solusi konkret atas persoalan perumahan di daerah urban. Ia juga menyoroti pentingnya pemanfaatan berbagai jenis tanah yang strategis dan potensial untuk dikembangkan menjadi kawasan hunian vertikal.
Tanah-tanah tersebut mencakup milik negara, BUMN, pemerintah daerah, kawasan kumuh, tepi sungai, tepi pantai, serta tanah-tanah lain yang perlu dikonsolidasi.
"Tanah-tanah yang ada di tengah-tengah kota itu harus dikonsolidasikan untuk menjadi hunian vertikal. Itu adalah best practice di seluruh dunia," jelas Fahri.
Menurutnya, riset menunjukkan bahwa sebagian besar kota sudah kekurangan lahan, yang akhirnya memaksa masyarakat pindah ke wilayah pinggiran. Padahal, kota yang ideal justru adalah kota yang memungkinkan warganya tetap tinggal di dalam wilayah kota itu sendiri.
"Seluruh riset mengatakan bahwa kota itu tanahnya habis. Karena kota tanahnya habis, orang tersingkir keluar kota. Sementara kota yang benar adalah kota yang orangnya tetap tinggal di kota," pungkas Fahri.
(Sumber: Antara)